Minggu, 03 Juni 2012

Review Jurnal HAKI


Nama Kelompok :         Elin Eliani (22210333)
                                    Galih Pangestu (22210924)
                                    Harry Farhan (23210157)
                                    Saepudin (26210320)
                                    Tiara Lenggogeni (26210888)

I. ABSTRAK

HKI adalah hak yang timbul sebagai akibat dari manusia karya tindakan kreatif menghasilkan inovatif yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Sebagai hak eksklusif, perlindungan Hak Kekayaan Intelektual pada mulanya merupakan bentuk perlindungan yang diberikan oleh Negara bagian ide atau hasil karya warga negaranya, dan karena itu hak atas Kekayaan Intelektual adalah kenegaraan fundamental teritorial. Pengakuan Hak Kekayaan Intelektual perlindungan di sebuah Negara tidak berarti perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Negara lain. Pelaksanaan ketentuan mengenai Hak Kekayaan Intelektual telah dilaksanakan tetapi belum maksimal hal ini disebabkan karena persepsi masyarakat yang beragam di satu sisi banyak yang menganggap HKI belum diperlukan karena akan membatasi seseorang untuk berbuat baik kepada sesama manusia, tetapi ada juga orang yang sudah mulai menyadari pentingnya HKI sehingga berusaha melindungi HKI dalam hal ini adalah Hak Cipta dan Merek Dagang Hak. Namun dalam pelaksanaan HKI ada juga kendala yang menyertai system pemasaran yang belum baik, sering mengubah-ubah bahwa motif serta modal terbatas dan sumber daya manusia.


II. PENDAHULUAN
Globalisasi ekonomi tidak pelak lagi telah masuk dalam kehidupan NasionalIndonesia. Hal ini akan menimbulkan kolonialisasi ekonomi dengan konsentrasi padakekuatan korporasi internasional, oleh karena itu hukum diharapkan mampumengakomodasi untuk memperkuat perekonomian nasional untuk mengakses pasar internasional.
Akhir akhir ini sedang berlangsung terjadinya perubahan-perubahan yang sangatcepat, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia sudah tidaklagi perlu menyelesaikan suatu pekerjaan secara manual, melainkan sudahmemanfaatkan teknologi canggih yang serba otomatis. Jarak maupun waktu bukan lagisuatu masalah baik itu jauh maupun lama. Oleh karena itu, ini menandakan perubahanbaru dari era industri menuju era baru yaitu era informasi.
Globalisasi pada awalnya bermula pada perubahan dan perkembangan dibidang ekonomi untuk mewujudkan tata ekonomi antar bangsa yang adil dan sejahterauntuk sebagian besar masyarakat dunia.Globalisasi mengandung makna yang dalamdan terjadi di segala aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial budaya, IPTEK,dan sebagainya. Dalam dunia bisnis misalnya, globalisasi, tidak hanya sekedar berdagang di seluruh dunia dengan cara baru, yang menjaga keseimbangan antarakualitas global hasil produksi dengan kebutuhan khas yang bersifat lokal darikonsumen. Cara baru ini dipengaruhi oleh saling ketergantungan antar bangsa yangsemakin meningkat, berlakunya standar-standar dan kualitas baku internasional,meningkatan peran swasta dalam bentuk korporasi internasional, melemahnya ikatan-ikatan nasional di bidang ekonomi, peranan informasi sebagai kekuatan meningkat.


Ekspansi perdagangan dunia dan juga dilakukannya rasionalisasi tarif tercakupdalam GATT (the General Agreement on Tariff and Trade). GATT sebenarnyamerupakan kontrak kerja antar partner dagang untuk tidak memperlakukan secaradiskriminatif, proteksionis atas dasar ´’law of the jungle’´ dalam perdagangan dunia.Salah satu hasil perundingan GATT adalah TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods). Yang bertujuan :
a. Meningkatkan perlindungan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)dari produk-produk yang diperdagangkan.
b. Menjamin prosedur pelaksanaan HAKI yang tidak menghambat kegiatanperdagangan.
c. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan perlindunganterhadap HAKI.
d. Mengembangkan prinsip aturan dan mekanisme kerjasama internasionaluntuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan ataupembajakan HAKI.
Globalisasi menimbulkan dampak bagi Negara Republik Indonesia secarakhususnya dan bagi negara berkembang pada umumnya. Pembangunan yangdilaksanakan mau tidak mau harus memperhitungkan aspek aspek global tersebut.Dalam hal ini termasuk dalam pengembangan hukum, instrumen-instrumen hukuminternasional dan pandangan-pandangan yang bersifat global perlu memperoleh tempatdalam pemikiran hukum nasional.
Proses globalisasi menimbulkan tolok ukur utama hubungan antar bangsa yaituperihaleconomic oriented yakni keuntungan atau hasil nyata apa yang dapat diperolehdari adanya hubungan tersebut. Pengaruh luar dapat cepat sekali masuk ke Indonesiasebagai implikasi terciptanya sistem ekonomi yang terbuka. Salah satu aspek darisistem ekonomi adalah pada produk yang pemasarannya tidak lagi terbatas pada skalanasional tetapi juga internasional. Hal ini berakibat pada kompetisi standar kualitas danpersaingan yang fair, serta terhindarnya produk industri palsu, berdasarkan padakesepakatan-kesepakatan dunia internasional.
Dalam keletihan mengatasi deraan krisis ekonomi, hak atas kekayaan intelektual(HaKI) kembali digugat perannya dalam proses pemulihan dan pemberdayaan ekonomirakyat. Sejauh ini, HaKI memang mempunyai insentif strategis untuk mendorongpertumbuhan ekonomi meski juga berkarakter monopoli yang mengundang resistensiGlobalisasi saat ini telah menciptakan aspek aspek dalam bentuk formatinterdependensi. Demikian pula rezim HaKI yang sarat dengan tatanan regulasi. Dalamkegiatan ekonomi dan perdagangan, HaKI telah sedemikian terkait dengan artikulasipasar global. Pasar bebas yang mestinya steril dari berbagai intervensi, nyatanyamemiliki kalkulasi sendiri. Ia terbukti tidak sepi dari kepentingan politik. Sanksi ekonomi,dan embargo adalah sebagian contoh hukuman bagi tindak pencederaan terhadapHaKI.Dalam memasuki pasar internasional, maka perlindungan dibidang HAKI tidakbisa ditawar-tawar lagi, sebab perlindungan HAKI ini sebenarnya bagaikan keping matauang yang memiliki dua sisi. Sisi pertama sebagai penopang pertumbuhan ekonominasional, sedangkan sisi yang lain akan memberikan kepercayaan internasional,khususnya kepercayaan para investor terhadap iklim di Indonesia yang mampumelindungi bidang HaKI. Sebab jika ´’law enforcement ‘´ dibidang HaKI tidak mendapatprioritas tentunya barang-barang berkualitas akan enggan masuk pasar dalam negeri. ApalagiUnited State Trade Representative(Amerika Serikat) menempatkan Indonesiapada posisi ´priority watch list ´.
III. PEMBAHASAN
Peranan HaKI di Indonesia
Betapapun HaKI adalah konsep hukum yang netral. Namun, sebagai pranata,HaKI juga memiliki misi. Di antaranya, menjamin perlindungan terhadap kepentinganmoral dan ekonomi pemiliknya. Bagi Indonesia, pengembangan sistem HaKI telah diarahkan untuk menjadi pagar, penuntun dan sekaligus rambu bagi aktivitas industridan lalu lintas perdagangan. Dalam skala ekonomi makro, HaKI dirancang untukmemberi energi dan motivasi kepada masyarakat untuk lebih mampu menggerakkanseluruh potensi ekonomi yang dimiliki.
HaKI berkaitan dengan produk. Suatu produk pada hakikatnya merupakan karyaseni atau sastra atau karya tulisan termasuk karya ilmiah yang pada dasarnyamerupakan karya intelektual yang dilindungi hak cipta (sebagai bagian dari HaKI), dandiperdagangkan secara global, pada gilirannya akan memerlukan pula perlindunganhukum yang efektif dari segala tindak pelanggaran. Demikian pula halnya denganproduk industri atau manufaktur lainnya. Keterlibatan pilihan teknologi (termasukteknologi proses) baik yang dipatenkan maupun yang berupa rahasia dagang, yangberlangsung sejak tahap perencanaan dan berlanjut hingga tahap pembuatannya,ataupun penggunaan merek pada saat produk yang bersangkutan dipasarkan,menunjukkan keterlibatan HaKI sejak awal hingga akhir produksi. Dapat dikatakan HaKItelah hadir sejak awal produksi hingga saat pemasarannya. Karenanya, memang tidakberlebihan untuk mengatakan bahwa globalisasi produk pada akhirnya juga berartiglobalisasi HaKI.
Pada proses selanjutnya seiring dengan meningkatnya kreatifitas masyarakatdan dipengaruhi oleh teori ekonomi pasar dari Adam Smith, muncul konsep hak ataskepemilikkan atas karya intelektual. Konsep ini kemudian di Undang-Undangkan.Penjaminan atas hasil karya intelektual ini dimaksudkan untuk merangsangpertumbuhan kreatifitas, menjamin kepemilikan suatu hasil kreatifitas serta menjadikanhasil kreatifitas intelektual memiliki nilai pasar dalam artian ekonomis tersendiri.Problem yang timbul dari tatanan ini adalah, pelaksanaan UU paten dan copyright telahmembuka jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin atau antara negara kayadengan negarta miskin serta kecenderungan munculnya perilaku monopoli olehsekelompok orang atau kelompok tertentu.
Di bidang merek, HaKI tegas menolak monopoli pemilikan dan penggunaanmerek yang miskin reputasi. Merek serupa itu bebas digunakan dan didaftarkan oranglain sepanjang untuk komoditas dagang yang tidak sejenis. HaKI hanya memberiotoritas monopoli yang lebih ketat pada merek yang sudah menjadi tanda dagang yangterkenal. Di luar itu, masyarakat bebas menggunakan sepanjang sesuai dengan aturan.Yang pasti, permintaan pendaftaran merek ditolak bila didasari iktikad tidak baik.
Memasuki tahun 2000 HaKI telah bergulir secara resmi dalam koridor globalisasi,artinya pengakuan hukum disatu negara secara konseptual tidak berbeda dari yang adadi negara lain. Begitu juga dengan ruang lingkup HaKI mengalami perkembangan, HaKItidak lagi hanya mengurusi hak atas cipta, paten dan merek tapi sekarang telah meliputihak atas desain industri, tata letak sirkuit terpadu dan rahasia dagang. Hal ini sejalandengan penataan HaKI dalam wadah World Trade Organization( WTO ), yangdidalamnya juga terlampir  Agreement ontrade Related of Intelectual Property ( TRIPs ) .Kenyataan ini yang nantinya mendorong untuk perlu melakukan ratifikasi terhadapperundang-undangan HaKI (UU hak cipta, UU paten dan merek) di Indonesia.
Sejalan dengan itu, pemerintah Indonesia terus mengambil langkah gunameningkatkan perlindungan hukum, dan pembinaan di bidang HKI. Sejak tahun 2000Pemerintah Indonesia telah menerbitkan dan merevisi peraturan hukum di bidang HKIuntuk disesuaikan dengan kesepakatan TRIPs, antara lain: UU No. 29 Tahun 2000tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT), UU No. 30 Tahun 2000 tentangRahasia Dagang, UU No. 31 tentang Desain Industri, UU No. 32 tentang Desain TataLetak Sirkuit Terpadu (DTLST), UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15Tahun 2001 tentang Merek, UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Melihat perkembangan sistem perundang-undangan HaKI di Indonesia, A.Zenmenjelaskan bahwa undang-undang HaKI merujuk pada peran HakI sebagaipendukung kegiatan untuk menghasilkan karya-karya intelektual. Hal ini dapat terlihatnyata pada implementasi UU No 6 tahun 1989 tentang hak paten, UU No 13 tahun1997 yang memberi perlindungan hukum yang semakin efektif terhadap perkembangankegiatan penelitian dan pengembangan teknologi atau UU No 19 tahun 1992 dalamkaitannya dengan merek. Sebagai sebuah perundang-undangan, UU HaKI mengatur tentang ruang lingkup karya intelektual ( hak dan kewajiban ), tata cara mendapatkanHaKI termasuk pendaftaran HaKI secara internasional, jangka waktu perlindungan sertaprosedur pemeriksaan. Terobosan baru yang juga dilakukan adalah tersedianya paten sederhana bagi hasil karya kreatif yang tidak berteknologi tinggi. Untuk patensederhana ini persyaratannya lebih ringan dan jangka waktu perlindungan juga tidakbegitu lama. Hal ini dikarenakan masih lemahnya pemahaman HaKI, sejalan denganbukti bahwa masyarakat kita masih belum menghargai HaKI, contohnya adalahpersoalan peniruan merek. Sesungguhnya memang kurang fair menuntut masyarakatmemahami sendiri aturan HaKI tanpa bimbingan yang memadai. Sebagai konsephukum baru yang padat dengan teori lintas ilmu, HaKI memiliki kendala klasik untukdapat dimengerti dan dipahami. Selain sistem edukasi yang kurang terakomodasi di jenjang perguruan tinggi, HaKI hanya menjadi wacana yang sangat terbatas karenakurangnya sosialisasi.
HaKI sebagai suatu sistem perlindungan ide bagi dunia usaha
Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa pada dasarnya perlindungan hukummeliputi dua hal. Yakni perlindungan hukum pereventif dan perlindungan hukumrepresif. Perlindungan hukum preventif meliputi tindakan yang menuju kepada upayapencegahan terjadinya sengketa sedangkan perlindungan represif maksudnya adalah perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya untuk menyelesaikan sengketa, seperticontohnya adalah penyelesaian sengketa di pengadilan.
HaKI sebagai satu sistem perlindungan hukum juga mempunyai kedua jenisperlindungan sebagaimana yang diungkapkan oleh Hadjon. HaKI mengenal adanyasistem pendaftaran yang cenderung kepada perlindungan hukum secara preventif dansistem pidana untuk perlindungan secara represif, mengingat memang pidana padaasasnya adalah satu tindakan terakhir untuk menegakkan hukum.HaKI memberikan pencipta dua hak ekslusif yaitu hak moral dan hak ekonomi;hak moral adalah hak hak yang melindungi kepentingan pribadi sang pencipta sehinggamemberikan pencipta hak untuk tetap disebut pencipta karya tersebut. Sedangkan,Hak ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi atas kekayaanintelektual.
Kasus yang sering terjadi adalah harga produk HKI cenderung sangat mahal. Halini dikarenakan terkadang pencipta tidak hanya mengambil hak ekonominya akan tetapimelipat gandakan apa yang menjadi haknya. Padahal bisa saja untuk menjadikanbarang tersebut murah pencipta atau penemu melepas hak ekonominya tersebutsehingga bisa jadi harga dari produk HaKI menjadi lebih terjangkau. Akan tetapimelepaskan hak ekonomi dikalangan pencipta atau penemu tampaknya masih sangat jarang.
Dunia usaha saat pada masa globalisasi sekarang ini menghadapi banyak tantanganseiring cepatnya perubahan perubahan dalam teknologi dan banyaknya kreasi atau ide yang tercipta dari tenaga kerja yang kreatif. Hal ini menimbulkan pertanyaan akanpentingnya HaKI dalam tiap tiap bidang industri.
HaKI dalam Industri perangkat lunak
Disini terdapat perbedaan antara hak paten dengan copyright dalam konteksindustri perangkat lunak. Hak paten terletak pada algoritma, sedangkan penerapan darialgoritma adalah copyright . Oleh karena itu algoritma dapat dipatenkan sedangkanpenerapan dari algoritma (copyright ) tidak bisa. Sebagai contoh pengembangan padamicrosoft, microsoft tidak dapat disebut copyright tapi berhak atas paten.Kerumitan menetapkan suatu hasil karya pada industri perangkat lunak iniberhak memiliki copyright atau tidak sejalan dengan cepat dan panjangnya prosespengembangan pada industri perangkat lunak itu sendiri. Akibatnya copyright seringdipertentangkan dan ketika memasuki proses hukum kembali terganjal kepada prosesitu kembali. Oleh karena itu perlindungan hukum dalam industri perangkat lunak yangdinaungi oleh UU No 19 Tahun 2002 tentang hak cipta (copyright ) dan UU No.14 tahun2001 tentang paten masih tumpang tindih. Hal ini dikarenakan, algoritma sebuahperangkat lunak yang menjadi mesin dari sebuah perangkat lunak masih dapat dibajakdan dibuat kembali dengan mudah tanpa bisa dilacak (reverse engineering ). Untukmenjelaskan perkembangan industri perangkat lunak di Indonesia terlihat masihterfokus pada proses aplikasi atau integrasi. Pengembangan itu sendiri masih banyakmengabaikan HaKI. Persoalannya disini adalah UU HaKI masih banyak berpihak padadan menguntungkan orang lain.
HaKI dalam Industri Farmasi
Industri farmasi di Indonesia pada era globalisasi terdiri dari sebagian besar merupakan industri manufaktur farmasi yang berorientasi pada formula obat jadi, danuntuk kebutuhan tersebut masih tergantung pada bahan baku impor. Lemahnya industripengembangan farmasi di Indonesia disebabkan oleh tingginya biaya untuk melakukan penelitian. Adapun peluang untuk bersaing dengan pihak luar yang memang padatmodal adalah pada pengembangan obat tradisional yang bahan bakunya tersedia diIndonesia. Dilihat dari sisi perspektif perlindungan hukum HaKI tampaknya masihberjalan kurang baik dikarenakan situasi industri farmasi Indonesia saja yang masihmenggantungkan obat obatan dari luar negeri. Lebih jauh lagi tampaknya, perlindunganHaKI terhadap obat-obatan luar negeri masih lemah dengan banyaknya obat obatanpalsu yang beredar di masyarakat.Contoh kasusnya adalah, Tempe yang secaratradisional adalah produk asli Indonesia, namun paten tempe telah dilakukan di Jepang(Masuki Tokuda, Kyoso Hiroya, Nishi dan Inoue) untuk kepentingan obat dan kosmetik.
HaKI dalam industri musik
Keberadaan HaKI dengan segala perangkat perundang-undangannya merupkansesuatu yang ditungu-tunggu dalam industri musik dan berharap perlu didukung olehsemua pihak. Akan tetapi, sebaliknya, perlindungan hukum terhadap hasil karyapemusik masih lemah. Masyarakat lebih bangga membeli kaset banjakan dibandingkanyang original, dan memang harganya lebih murah. Perdagangan kaset bajakanbelakangan ini justru semakin banyak dan terang-terangan. Aparat keamanan sertaperangkat penegak hukum lainnya terlihat masih lamban dalam mengatasi kasus-kasuspembajakan. Kebanyakan kasus diantaranya hanya diberi hukum percobaan. Pada halmenurut undang-undang setiap pembajak akan diberi hukuman 7 bulan penjara sertadenda 100 juta. Tidak jauh berbeda dengan kedua elemen di atas para pencipta lagupun banyak yang tidak paham dan mengerti dengan hak yang dimilikinya. Contoh diJepang royalty atas karya Gesang dari tahun 1950 sampai 1974 saja sudah terkumpulsebanyak 500 US dollar, tapi itu tidak bisa diambil karena Gesang tidak tercatat sebagaianggota asosiasi tersebut. Contoh konkrit lain adalah royalti lagu Lilin-Lilin Kecil yangmenjadi lagu abadi hingga kini sejak dipopulerkan Chrisye pada 1977 yang diciptakanoleh James F. Sondah. Pendapatan royalti yang diperoleh dari lagu tersebut ternyatahanya Rp 35 ribu. Selanjutnya lagu Api Asmara milik Ali Yahya, saat pertama lagu itu dipublikasikan, Yahya hanya disodori secarik surat perjanjian Rp 15 ribu untuk sekalimerekam lagu ciptaannya.
Langkah-langkah yang telah dilakukan, khususnya menyangkut hukum HAKI,berkaitan erat dengan pemahaman bahwa perdagangan, industri dan investasi tidakbisa dilepaskan dengan HAKI. Kebutuhan nasional untuk dapat mengakses ke pasar internasional bagi produk yang dihasilkan memiliki arti yang sangat penting danstrategis. Hal ini selain berhubungan dengan tuntutan globalisasi, juga kebutuhannasional untuk memperluas dan memperbesar pendapatan ekspor, terutama di sektor non-migas. Masalah yang kita hadapi dalam rangka pembentukan sistem hukum HAKIadalah masalah kesadaran hukum HAKI sebagai perwujudan budaya hukum. Budayahukum yang ada dalam masyarakat kita kurang mendukung, dan inilah yang perlumendapat perhatian.
Dalam masyarakat masih sering beredar barang-barang bermerek palsu, danironisnya barang tersebut laku dipasaran yang sebetulnya ini merugikan konsumen darisegi kualitas barang. Disamping itu, juga berkonsekuensi Indonesia ditempatkansebagai kelompok negara ´priority watch list´. Bagi para pengusaha, khususnyapengusaha kecil dan menengah tidak mendaftarkan merek produk ataupun jasanya,karena selain kesadaran ekonomisnya lemah, juga biaya pendaftaran dianggap masihmahal. Disamping merek, produk-produk dari hasil karya seni juga tidak didaftarkan hakciptanya.

Penutup
Ketika menghadapi badai krisis ekonomi, HaKI terbukti dapat menjadi salah satupayung pelindung bagi para tenaga kerja yang memang benar-benar kreatif daninovatif. Lebih dari itu, HaKI sesungguhnya dapat diberdayakan untuk mengurangikadar ketergantungan ekonomi pada luar negeri. Bagi Indonesia, menerima globalisasi dan mengakomodasi konsepsi perlindungan HaKI tidak lantas menihilkan kepentingannasional. Keberpihakan pada rakyat, tetap menjadi justifikasi dalam prinsip-prinsippengaturan dan rasionalitas perlindungan berbagai bidang HaKI di tingkat nasional.Namun, semua itu harus tetap berada pada koridor hukum dan norma-normainternasional. Dengan adanya sistem yang demikian menunjukkan bahwasanya HaKIpada dasarnya bukanlah satu sistem monopoli kapitalis, akan tetapi ketika di telaahlebih jauh sistem HKI adalah satu sistem yang bisa saja bernuansa sosial dengan tetapmengusung pada semangat awal munculnya HKI yakni memberikan perlindungan ataside pencipta.

Review Jurnal Hukum Dagang


Review Jurnal Hukum Dagang


Nama Kelompok :         Elin Eliani (22210333)
                                    Galih Pangestu (22210924)
                                    Harry Farhan (23210157)
                                    Saepudin (26210320)
                                    Tiara Lenggogeni (26210888)


JURNAL HUKUM PEMBATALAN PENDAFTARAN MEREK TERHADAP HAK PENERIMA LISENSI MEREK MENURUT UU NO. 15 TAHUN 2001

I. Abstrak
Globalisasi perdagangan telah membuat merek dagang menjadi sangat penting. sebuah merek dagang adalah tanda yang berfungsi sebagai dibedakan dari orang lain, jaminan kualitas dan sumber asal. Pemilik merek dagang terdafatar memiliki hak eksklusif untuk menggunakan merek dagang dalam jangka waktu tertentu atau membarikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Izin kepada pihak lain atau lisensi, harus diberikan melalui surat persetujuan untuk izin untuk menggunakan (tidak mengalihkan kepemilikan) untuk jangka waktu tertentu. Pendaftaran merek dagang dalam daftar umum merek dagang dapat dibatalkan atas permintaan dengan argumen bahwa merek dagang memiliki kesamaan dasar dengan merek dagang terdaftar sebelumnya, atau pendaftaran itu dibuat untuk maksud kejam. Pembatalan hasil pendaftaran merek dagang penghentian perjanjian lisensi merek dagang, namun penerima lisensi dapat berhak sampai selesainya masa perjanjian.

Keywords : hak eksklusif, perjanjian lisensi, pemegang lisensi.

II. Pendahuluan
Pengaruh globalisasi di segala bidang kehidupan masyarakat, baik dibidang sosial, ekonomi, maupun budaya semakin mendorong laj perkembangan perekonomian masyarakat. Di samping itu, dengan semakin meningkatnya Perkembangan TI dan Sarana Transportasi telah menjadikan kegiatan disektor perdagangan barang maupun jasa meningkat secara pesat. Kecenderungan meningkatnya arus perdagangan barang dan jasa tersebut akan terus berlangsung sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin baik. Beberapa negara semakin mengandalkan kegiatan ekonomi dan perdagangannya pada produk-produk yang dihasilkan atas dasar kemampuan intelektual manusia.
Dalam era perdagangan global, peranan merek menjadi penting terutama untuk menjaga persaingan bisnis yang sehat. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Tidak semua tanda dapat didaftar sebagai merek. Hanya tanda-tanda yang memenuhi syarat yang dapat didaftar sebagai merek, seperti mempunyai daya pemebeda; tanda tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umu; bukan tanda bersifat umum dan tidak menjadi milik umum; atau bukan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya; tanda tersebut juga tidak mempunyai persamaan dengan merek lain yang terdaftar terlebih dahulu.
Fungsi Merek adalah sebagai tanda pengenal untuk membedakan produk perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya, sarana promosi dagang, jaminan atas mutu barang atau jasa, dan penunjuk asal barang atau jasa yang di hasilkan,
Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan bahwa Hak Merek adalah hak eksklusif yang di berikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dangan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Hak Merek diberikan oleh Negara karena Hak Merek tidak lahir scara otomatis seperti halnya Hak Cipta. Hak Merek lahir karena pendaftara. Perlindungan hukum merek hanya akan berlangsung apabila hal tersebut dimintakan pendaftaran, karena pendafataran adalah mutlak. Tanpa ada pendaftaran tidak ada hak merek dan juga perlindungan. Pemilik merek terdaftar dapat menggunakan sendiri mereknya untuk jangka waktu 10 tahun dan jangka waktu perlindungan tersebut dapat diperpanjang kembali.
Hak Merek juga dapat di alihkan haknya dengan cara pewarisan, wasiat, hibah, perjanjian, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Selain itu Pemilik merek terdaftar dapat memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan hak mereknya. Pemeberian izin inilah yang di sebut Lisensi.

III. Pembahasan

Lisensi Merek
Pengertian Lisensi menurut Pasal 1 angka 13 UU Merek adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan Pengalihan Hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.
Secara harfiah lisensi mengandung arti sebagai suat ijin (hak atau wewenang) yang diberikan oleh pihak yang berwenang atau pihak yang berhak kepada pihak lain untuk melakukan suatu perbuatan atau berbagai macam perbuatan hukum atas sebidang tanah yang bukan miliknya. Perbuatan-perbuatan hukum tersebut apabila dilakukan tanpa ijin dari si pemilik hak merupakan suau perbuatan yang tidak sah (illegal), perbuatan yang salah atau pelanggaran (trespass), perbuatan yang menimbulkan kerugian (tort) atau perbuatan-perbuatan lain yang termasuk dalam kategori perbuatan yang tidak diperbolehkan (not be allowed).
Banyak pertimbangan yang dipakai untuk pembuatan perjanjian lisensi seperti :
Lisensi menambah sumber daya pengusaha pemberi lisensi secara tidak langsung ;
Lisensi memungkinkan perluasan wilayah usaha secara tidak terbatas ;
Lisensi memperluas pasar ;
Lisensi mempercepat proses pengembanagn usaha bagi industri padat modal ;
Penyebaran produk lebih mudah
Dapat mengurangi tingkat kompetisi hingga pada suatu batas tertentu
Pihak pemebri dan penerima lisensi dapat melakukan trade off (barter) teknologi
Pemberi lisensi memungkinkan pemberi lisensi untuk sampai pada batas tertentu melakukan kontrol atas pengelolaan kegiatan usaha yang dilisensikan.
Pasal 43 ayat (1) UU Merek  menyebutkan bahwa pemilik merek terdaftar berhak memberikan lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima lisensi akan menggunakan merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa. Lahirnya hubungan hukum para pihak dalam pemberian lisensi harus dituangkan dalam perjanjian. Perjanjian tersebut tunduk spenuhnya pada hukum perjanjian yang terdapat dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Hubungan hukum yang timbul karena perjanjian lisensi demikian penting, maka sebaiknya perjanjian ini dibuat dalam bentuk akta otentik. Ada beberapa hal yang harus dimuat dalam perjanjian lisensi, yakni :
Nama dan alamat para pihak yang mengadakan perjanjian lisensi
Merek dan nomor pendaftaran
Ketentuan mengenai :
Jangka waktu perjanjian lisensi
Dapat atau tidaknya jangka waktu perjanjian lisensi di perpanjang
Penggunaan mereknya untuk seluruh atau sebagian jenis barang atau jasa yang termasuk dalam satu kelas
Jumlah royalty dan tata cara pembayarannya
Dapat atau tidaknya penerima lisensi memberikan lisensi lanjut kepada pihak ketiga
Kewajiban pemberi lisensi untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap mutu barang yang di produksi dan di perdagangkan
Batas wilayah berlakunya perjanjian lisensi, apabila di perjanjikan
Penting untuk diperhatikan agar perjanjian lisensi dapat berjalan dengan baik adalah pengaturan mengenai hak dan kewajiban licensor  dan  licensee secara rinci. Hak dan kewajiban pemberi lisensi adalah :
Menerima pembayar royalty sesuai dengan perjanjian
Menuntut pembatalan lisensi merek
Menjamin penggunaan merek dari cacat hukum atau gugatan dari pihak ketiga
Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap mutu barang atau jasa hasil produksi penerima lisensi
Meminta persetujuan kepada penerima lisensi
Pembatalan perjanjian lisensi merek
Sedangkan hak dan kewajiban penerima lisensi adalah :
Menggunakan merek yang dilisensikan sesuai jangka waktu
Menuntut pembayaran kembali royalty yang telah dibayarkan penerima lisensi kepada pemilik merek
Memberi lisensi lebih lanjut kepda pihak ketiga
Menuntut pembatalan lisensi merek
Membayar royalty sesuai perjanjian
Meminta pencatatan perjanjian lisensi kepada Kantor Merek
Menjaga mutu barang atau jasa hasil produksinya sesuai dengan standar mutu barang atau jasa atas merek yang dilisensikan.
Pembatalan Pendaftaran Merek
Pembatalan pendaftaran hak merek hanya dapat di ajukan oleh pihak yang berkepentingan atau oleh pihak merek, baik dalam bentuk permohonan kepada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual atau gugatan kepada pengadilan Niaga, dengan dasar alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6 UU Merek yang mengatur mengenai merek yang tidak dapat di daftarakan dan merek yang tidak dapat di daftarkan dan merek yang ditolak pendaftarannya.

Akibat Pembatalan Pendaftaran Merek terhadap Hak Penerima Lisensi Merek
Pembatalan pendaftaran merek akan berakibat berakhirnya perjanjian lisensi yang dibuat . walaupun demikian hak penerima masih di lindungi, hal ini dapat dilihat dalam pas 48 UU Merek yang menentukan sebagai berikut :
Penerima lisensi yang beritikad baik, tetapi kemudian Merek itu dibatalkan atas dasar adanya persamaan pada pokok atau keseluruhannya dengan Merek lain yang terdaftar, tetap berhak melaksanakan perjanjian  lisensi tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian lisensi
Penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalty kepada pemberi lisensi yang dibatalkan, melainkan wajib melaksanakan pembayarn royalty kepada pemilik merek yang dibatalkan
Dalam hal pemberi Lisensi sudah terlebih dahulu menerima royalty secara sekaligus dari penerima Lisensi,  pemberi Lisensi tersebut wajib menyerahkan bagian dari royalti yang diterimanya kepada pemilik Merek yang tidak di batalkan, yang besarnya sebanding dengan sisa jangka waktu perjanjian Lisensi.
Apabila dalam pelaksanaan perjanjian lisensi tersebut terjadi gugatan pembatalan terhadap kepemilikan merek yang ditujukan kepada pemilik merek sekaligus pemberi lisensi merek, maka kedudukan dari pihak penerima lisensi merek tidak akan terpengaruh oleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap terhadap sengketa gugatan merek tersebut. Apabila kedudukan pemberi lisensi merek sebagai pemilik merek dibatalkan melalui putusan hakim pengadilan niaga yang berkekuatan hukum tetap, maka pihak penerima lisensi merek akan tetap dapat melaksanakan perjanjian lisensi tersebut dan dengan persyaratan bahwa pembayaran royalti pada periode selanjutnya akan dilanjutkan kepada pihak yang dinyatakan sebagai pemilik merek yang sah.

IV. Kesimpulan
Pembatal Pendaftaran Merek berakibat berakhirnya perjanjian lisensi merek, akan tetapi pembataln pendaftaran merek tidak berakibat hapusnya hak penerima lisensi merek. Pasal 48 UU Merek memberikan perlindungan terhadap hak penerima lisensi merek yang beritikad baik yang mencatatkan perjanjian lisensi yang dibuatnya pada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual. Penerimaan lisensi merek tersebut teteap berhak melaksanakan perjanjian Lisensi sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian lisensi.

Agus Mardianto
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Jawa Tengah
E-mail : agusmardianto39@yahoo.co.id

Sumber :
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011/VOL11S2011%20AGUS%20MARDIANTO.pdf

Sabtu, 02 Juni 2012

Review Jurnal Penyelesaian Sengketa Ekonomi



AKTUALISASI FUNGSI HUKUM PIDANA
DALAM ERA EKONOMI GLOBAL


Disusun Oleh :
Elin Eliani (22210333)
Galih Pangestu (22210924)
Harry Farhan (23210157)
Saepudin (26210320)
Tiara Lenggogeni (26210888)


Abstract

This article tries to describe the function of Indonesian law system in global economy era. Due to forth coming of globalization on economy and free trade, in which Indonesia as a developing country included to be involved, the legal system might be considered as a primary instrument on facilitating the global economic activities. Economic law, so called, may be punctuate as regulatory on economic
activities, meanwhile the criminal law can be punctuate on preventing the economic actors from wrong doing, which potentially victimized either physical or other kinds of damage.

Pendahuluan

Liberalisasi perdagangan menuju era ekonomi global dan pasar bebas melalui WTO (World Trade Organization) maupun APEC (Asia Pasific Economic Committee), menghadirkan tantangan yang berat
bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan demikian, oleh karena di pasar bebas akan bertemu kekuatan-kekuatan yang tidak berimbang, yaitu negara-negara industri, New Indusrial Countries (NIC’s), dan negara-negara yang sedang berkembang. Kemampuan para pemain, dalam hal ini negara-negara, tidaklah sama. Negara-negara berkembang dikhawatirkan akan kedodoran dalam menghadapi persaingan ketat dengan negaranegara maju.

Malapetaka ekonomi akibat ketidakseimbangan perdangan dunia yang dikhawatirkan dapat terjadi, terutama karena kebanyakan negara berkembang saat ini belum siap menghadapi persaingan global. Dalam melakukan persiapan memasuki ekomomi global dan perdagangan bebas bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dari segi ekonomi mau tidak mau harus sesegera mungkin memperkokoh daya tahan ekonomi nasional (domestik) dari serangan ekonomi asing terhadap dalam negeri. Sementara itu, bagi bangsa Indonesia harus pula segera memperbaiki kelemahan-kelemahan baik dalam bidang ekspor maupun dalam bidang impor, serta mengembangkan potensi ekonomi nasional untuk meningkatkan ekspor dan mengurangi volume impor. Dalam kaitan ini juga tidak boleh diabaikan tujuan pembangunan ekonomi nasional yang harus tetap berorientasi pada ekonomi kerakyatan.

Dalam konstruksi konseptual Pasal 33 UUD 1945, sistem hukum nasional seharusnya memfasilitasi kehidupan ekonomi nasional untuk mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Fungsi memfasilitasi aktivitas ekonomi dan perdagangan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat, lebih merupakan fungsi hukum ekonomi; sedangkan fungsi mencegah perilaku menyimpang yang merugikan dan melindungi warga masyarakat dan bangsa dari dampak buruk aktivitas perdagangan global, lebih merupakan fungsi hukum pidana. Fokus bahasan dalam tulisan ini lebih terarah pada fungsionalisasi hukum pidana dalam mendampingi bekerjanya hukum ekonomi tersebut di atas.

Dari Planed Economy Menuju Market Economy

Liberalisasi ekonomi dan perdagangan diartikan sebagai berkurangnya peranserta negara dalam aktivitas ekonomi dan perekonomian, dan pergeseran fungsi pengaturan dari yang semula di tangan negara kepada mekanisme pasar. Konsep liberalisasi ekonomi dan perdagangan berkaitan dengan pergeseran konsep ekonomi yang semula planned economy kemudian beralih ke market economy. Fungsi hukum di dalam sistem market economy jelas berbeda dengan fungsi hukum di dalam sistem planned economy.

Dalam kerangka planned economy hukum cenderung dipakai sebagai pemberi kewenangan-kewenangan baru kepada pemerintah (dan segenap aparatnya) atau juga sebagai pemberi legitimasi-legitimasi pada setiap tindakan pemerintah (dan segenap aparatnya) itu. Sementara market economy, sistem hukum lebih menampakkan watak atau karakternya yang liberal. Dalam sistem ekonomi pasar global, sistem hukum memerlukan reformasi dalam format dan fungsinya yang sesuai dengan tuntutan aktivitas ekonomi yang berlangsung dalam semangat pasar bebas. Dalam konteks liberalisasi ekonomi dan perdagangan ini, pemerintah Indonesia tampaknya telah melaku-kan langkah-langkah deregulasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Deregulasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan, pada hakikatnya bukanlah peniadaan peran hukum dalam pengaturan kehidupan ekonomi, melainkan melakukan perubahan (reformasi) dalam pola pengaturan ke arah yang lebih demokratis, liberal dan akomodatif terhadap dinamika pasar.

Reformasi Hukum dan Fungsionalisasi Hukum Ekonomi

Reformasi dalam bidang hukum/ hukum ekonomi, mengandaikan keniscayaan hubungan antara perkembangan ekonomi dan perkembangan hukum. Max Weber termasuk perintis yang melihat hubungan erat antara munculnya hukum modern dengan kapitalisme, yang berarti bahwa Weber melihat kapitalisme itu sebagai sebab terjadinya perubahan dalam tipe hukum dari tradisional menjadi modern. Kapitalisme, menurut Weber, menuntut suatu tatanan normatif dengan tingkat yang dapat diperhitungkan (calculability atau predictability) secara akurat. Hasil penelitian Weber terhadap sistem-sistem hukum yang ada di zamannya, sampai pada kesimpulan bahwa hanya hukum modern yang rasional atau memiliki rasionalitas formal yang bersifat logis yang mampu memberikan tingkat per-hitungan yang dibutuhkan. Legalisme atau pandangan yang menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum utama dan terpenting, dipandang memberikan dukungan kepada perkembangan kapitalisme dengan memberikan suasana yang stabil dan dapat diperhitungkan.

Menurut Max Weber, jika hukum hendak difungsikan dalam memfasilitasi kehidupan ekonomi, maka harus diciptakan hukum yang memiliki beberapa karakteristik, Berikut ini akan beberapa karakteristik hukum yang dimaksudkan oleh Max Weber.
1.      predictability. Maksudnya bahwa hukum harus dapat memperkirakan persoalan yang akan timbul di masa yang akan datang dan memberikan gambaran mengenai langkah-langkah apa yang harus diambil.
2.      stability atau stabilitas. Maksudnya, hukum dibuat untuk menciptakan stabilitas.
3.      fairness atau keadilan seperti persamaan di depan\ hukum.
4.      education atau pendidikan. Dalam hal ini maksudnya adalah pendidikan (tinggi) hukum yang seharusnya dapat menjawab tantangan global.
5.      special ability of the lawyer. Dalam hal ini maksudnya, para lawyer diharapkan mempunyai kemampuan yang baik dalam melakukan pekerjaan profesionalnya; tidak sekedar menjadi partner bagi penguasa, tukang stempel atau seseorang yang hanya mengurus soal finansial yang akan diterima saja.

Dan dalam melakukan pembaharuan hukum nasional, perlu diperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga menghasilkan suatu produk perundang-undangan yang baik dan responsif terhadap kebutuhan hukum masyarakat. Dalam hal ini yang terutama ialah produk hukum atau perundang-undangan yang kondusif dalam mengakomodasi kepentingan berbagai pihak di dalam situasi pasar global mendatang.

Arief Gosita menginventarisasi per-syaratan yang sekaligus dapat dijadikan alat pengukur kualitas hukum atau suatu perundang-undangan.
1.      rasional positif.
2.      dapat dipertanggungjawabkan.
3.      bermanfaat.
4.      mengembangkan rasa kebersamaan, kerukunan, kesatuan dan persatuan.
5.      mengembangkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.
6.      mengutamakan perspektif kepentingan yang diatur/ dilayani dan bukan perspektif kepentingan yang mengatur/melayani.
7.      sebagai pengamalan Pancasila.
8.      berlandaskan hukum secara integratif.
9.      berlandaskan etika.
10.  mengembangkan hak asasi dan kewajiban asasi yang bersangkutan.
11.  tidak dapat dipakai sebagai dasar hukum untuk menyalahgunakan kedudukan, kewenangan, kekuasaan dan kekuatan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
12.  mengembangkan respon/keadilan yang memulihkan.
13.  tidak merupakan faktor viktimogen.
14.  tidak merupakan faktor kriminogen.
15.  mendukung penerapan unsur-unsur manajemen: kooperasi, koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi.
16.  berdasarkan citra yang tepat mengenai objek dan subjek hukum, sebagai manusia yang sama harkat dan martabatnya.
17.  mengembangkan lima senses, yaitu sense of belonging (rasa memiliki), sense of responsibility (rasa tanggungjawab), sense of commitment (memiliki komitmen), sense of sharing (rasa berbagi), dan sense of serving (saling melayani).

Demikian pula sejumlah persyaratan di atas, tidak terbatas dalam bidang hukum ekonomi saja, melainkan juga berlaku untuk semua bidang hukum termasuk hukum pidana. Sejalan dengan semakin derasnya aktivitas ekonomi berskala global tahun-tahun terakhir ini, terlihat pula adanya political will
yang kuat pada pemerintah negara-negara berkembang untuk berbenah diri, membenahi semua potensi yang diperlukan dalam mendorong laju akselerasi perdagangan global tersebut sehingga bisa mem-berikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Peran Hukum Pidana Mendapingi Hukum Ekonomi

Hukum pidana dapat dipandang sebagai suatu bidang hukum yang mandiri, Sebagai suatu bidang hukum yang mandiri, hukum pidana memiliki kaidahkaidah tersendiri beserta sanksi pidananya yang dituangkan di dalam bentuk perundang-undangan tersendiri. Dalam konteks kajian ini, peran terpenting hukum pidana yang ingin dikedepankan adalah untuk mendampingi bekerjanya hukum ekonomi yang memiliki posisi primer dalam memfasilitasi aktivitas ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat, baik dalam hubungan berskala individual maupun kolektif.

Hukum pidana merupakan bagian dari sistem hukum pada umumnya dan bagian dari sistem peradilan pidana khususnya. Dalam posisi demikian itu, hukum pidana merupakan salah satu instrumen pengaturan dan perlindungan berbagai kepentingan secara seimbang di antara kepentingan pemerintah atau negara, kepentingan masyarakat atau kolektivitas, serta kepentingan individu atau perorangan, termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Sejalan dengan doktrin hukum pidana sebagai ultimum remedium, artinya penggunaan hukum pidana merupakan pilihan terakhir dalam mencegah dan menanggulangi perilaku kriminal di dalam masyarakat. Doktrin ini mengandaikan bahwa sarana utama dan pertama dalam mengatur perilaku warga masyarakat, baik individu maupun kolektif, haruslah menggunakan sarana hukum-hukum lain selain hukum pidana.

Norma-norma hukum, hukum ekonomi minus hukum pidana tadi, diharapkan dapat dengan cermat mengatur perilaku warga masyarakat, sehingga selain aktivitas ekonomi dapat berlangsung dengan baik juga dapat melindungi warga masyarakat dari kemungkinan terjadinya perilaku kriminal yang menimbulkan korban. Dalam operasionalnya, hukum pidana dengan kaidah dan sanksinya berperan memback up bekerjanya hukum ekonomi.

Salah satu contoh kongkrit tidak adanya atau kurangnya kepastian hukum di dalam mekanisme peradilan pidana di Indonesia, ditandai dengan kecenderungan selama ini di dalam mengadakan hubungan perjanjian dagang transnasional, pihak asing selalu mensyaratkan klausula arbitrase dalam penyelesaian sengketa. Erman Radjagukguk yang melakukan identifikasi terhadap alasan-alasan rasional kecenderungan tersebut, menyebutkan beberapa alasan.19
1.      pada umumnya pihak asing kurang mengenal sistem hukum negara lain.
2.      adanya keraguan akan sikap objektif pengadilan setempat dalam memeriksa dan memutus perkara yang di dalamnya terlibat unsur asing.
3.      pihak asing masih meragukan kualitas dan kemampuan pengadilan negara berkembang dalam memeriksa dan memutus perkara yang berskala internasional dan alih teknologi.
4.      timbulnya dugaan dan kesan bahwa penyelesaian melalui jalur formal badan peradilan akan memakan waktu lama.

Contoh kongkrit lainnya tentang tidak adanya atau lemahnya kepastian hukum dalam sistem peradilan di Indonesia dapat disimak dari fenomena tingginya kasus-kasus korupsi yang terjadi, namun kasus-kasus yang disidangkan di pengadilan selalu kandas.

Keadaan-keadaan di atas jelas menunjukkan perlunya reformasi di dalam sistem peradilan pidana Indonesia, sehingga dapat berperan sebagaimana mestinya dalam mendampingi bekerjanya hukum ekonomi di era ekonomi global mendatang. Dengan kata lain ingin ditegaskan bahwa reformasi sistem
peradilan pidana merupakan suatu keniscayaan, conditio sine qua non, guna dapat berfungsi secara berdaya guna bagi semua pelaku ekonomi, serta mampu mencegah dan menanggulangi terjadinya perbuatan-perbuatan yang berpotensi menimbulkan korban fisik, ekonomi dan mental.

Tuntutan kesiapan sistem peradilan pidana ini bukanlah sesuatu yang berlebihan, mengingat aktivitas ekonomi dan bisnis di era ekonomi global dapat pula terjadi, dalam skala yang lebih besar serta lebih rumit penyelesaiannya. Sebagaimana diidentifikasi oleh Muladi,21 kejahatan ekonomi merupakan kejahatan yang dilakukan tanpa kekerasan (nonviolent), disertai dengan kecurangan (deceit), penyesatan (misprecentation), penyembunyian kenyataan (concealment of facts), manipulasi, pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau pengelakan terhadap peraturan (illegal circumtances). Di balik semua itu, apa yang terjadi sebenarnya merupakan praktik bisnis yang tidak jujur.

Sejalan dengan perkembangan ekonomi yang semakin mengglobal, aktivitas ekonomi juga tidak akan sepi dari praktik-praktik yang bersifat kriminal baik dilakukan oleh subjek hukum individu maupun berupa sumjek hukum korporasi. Secara sektoral dapat dikemukakan bahwa, berbagai perundang-undangan baru di bidang ekonomi, serta Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah mengakomodasi korporasi sebagai subjek tindak pidana selain manusia/orang. Perkembangan ini merupakan bagian dari reformasi hukum pidana dan sistem peradilan pidana di Indonesia.

Dalam kerangka reformasi sistem peradilan pidana ini, Muladi mengutarakan beberapa karakteristik hukum pidana yang harus dikembangkan.
1.      bahwa hukum pidana nasional di masa datang yang dibangun itu harus memenuhi pertimbangan sosiologis, politis, praktis dan juga dalam kerangka ideologis Indonesia;
2.      hukum pidana yang dibangun itu tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang bertalian dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia;
3.      hukum pidana yang dibangun itu harus menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh di dalam pergaulan masyarakat beradab;
4.      oleh karena sistem peradilan pidana, politik kriminal dan politik penegakan hukum merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik sosial, maka hukum pidana mendatang juga harus memikirkan aspek-aspek yang bersifat preventif;
5.      hukum pidana dan sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan bagian dari super sistem yang lebih besar, sistem politik, ekonomi, sosial budaya, hankam dan sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh karena itu harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan efektivitas fungsinya di dalam masyarakat. Dengan karakteristik masa depan seperti tersebut di atas, dapat diharapkan hukum pidana dan sistem peradilan pidana nasional akan dapat memberikan jaminan kepastian hukum yang diperlukan, dan dengan demikian akan dapat berfungsi dengan semestinya mendampingi atau mem-back up bekerjanya hukum ekonomi.

Penutup

Liberalisasi perdagangan sebagai bagian dari proses menuju ekonomi global, menuntut pula dilakukan perubahan pada sistem hukum yang berlaku. Liberalisasi yang menandai beralihnya sistem ekonomi negara dari planned economy menuju market economy, mensyaratkan model pengaturan yang lebih sesuai dengan mekanisme dan dinamik pasar yang bercorak liberal dan demokratis. Dalam situasi ekonomi yang berlangsung dalam bingkai market economy, regulasi atau pengaturan aktivitas ekonomi dilakukan dengan memfungsikan hukum ekonomi serta ditopang oleh hukum pidana.

Perubahan corak ekonomi ini yang menuntut perubahan pada sistem hukumnya, tidak serta merta dapat berlangsung cepat dan mudah. Jika perubahan dalam pengelolaan aktivitas ekonomi dapat dilakukan dengan relatif mudah, maka fungsionalisasi sistem hukum baik hukum ekonomi maupun hukum pidana lebih memerlukan keseksamaan. Hal ini disebabkan, sistem hukum di masa Orde Baru dengan model planned economy cenderung tidak memberikan jaminan kepastian hukum, sementara model market
economy sebagai model ekonomi masa mendatang di era ekonomi global dan pasar bebas, mensyaratkan dengan sangat adanya jaminan kepastian hukum ini.

Untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum ini, reformasi hukum merupakan conditio sine qua non, prasyarat mutlak yang harus disiapkan. Hukum pidana sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, yang berfungsi mem-back up bekerjanya hukum ekonomi, dengan sendirinya merupakan bidang hukum yang harus mengalami banyak pembenahan mendasar, sehingga dapat
memberikan jaminan kepastian hukum.

Daftar Pustaka
Surbakti, Natangsa. SH.,MHum. 2005. Aktualisasi Fungsi Hukum Pidana dalam Ekonomi Global. http://eprints.ums.ac.id/348/1/4._NATANGSA.pdf