Sabtu, 02 Juni 2012

Review Jurnal Penyelesaian Sengketa Ekonomi



AKTUALISASI FUNGSI HUKUM PIDANA
DALAM ERA EKONOMI GLOBAL


Disusun Oleh :
Elin Eliani (22210333)
Galih Pangestu (22210924)
Harry Farhan (23210157)
Saepudin (26210320)
Tiara Lenggogeni (26210888)


Abstract

This article tries to describe the function of Indonesian law system in global economy era. Due to forth coming of globalization on economy and free trade, in which Indonesia as a developing country included to be involved, the legal system might be considered as a primary instrument on facilitating the global economic activities. Economic law, so called, may be punctuate as regulatory on economic
activities, meanwhile the criminal law can be punctuate on preventing the economic actors from wrong doing, which potentially victimized either physical or other kinds of damage.

Pendahuluan

Liberalisasi perdagangan menuju era ekonomi global dan pasar bebas melalui WTO (World Trade Organization) maupun APEC (Asia Pasific Economic Committee), menghadirkan tantangan yang berat
bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan demikian, oleh karena di pasar bebas akan bertemu kekuatan-kekuatan yang tidak berimbang, yaitu negara-negara industri, New Indusrial Countries (NIC’s), dan negara-negara yang sedang berkembang. Kemampuan para pemain, dalam hal ini negara-negara, tidaklah sama. Negara-negara berkembang dikhawatirkan akan kedodoran dalam menghadapi persaingan ketat dengan negaranegara maju.

Malapetaka ekonomi akibat ketidakseimbangan perdangan dunia yang dikhawatirkan dapat terjadi, terutama karena kebanyakan negara berkembang saat ini belum siap menghadapi persaingan global. Dalam melakukan persiapan memasuki ekomomi global dan perdagangan bebas bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dari segi ekonomi mau tidak mau harus sesegera mungkin memperkokoh daya tahan ekonomi nasional (domestik) dari serangan ekonomi asing terhadap dalam negeri. Sementara itu, bagi bangsa Indonesia harus pula segera memperbaiki kelemahan-kelemahan baik dalam bidang ekspor maupun dalam bidang impor, serta mengembangkan potensi ekonomi nasional untuk meningkatkan ekspor dan mengurangi volume impor. Dalam kaitan ini juga tidak boleh diabaikan tujuan pembangunan ekonomi nasional yang harus tetap berorientasi pada ekonomi kerakyatan.

Dalam konstruksi konseptual Pasal 33 UUD 1945, sistem hukum nasional seharusnya memfasilitasi kehidupan ekonomi nasional untuk mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Fungsi memfasilitasi aktivitas ekonomi dan perdagangan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat, lebih merupakan fungsi hukum ekonomi; sedangkan fungsi mencegah perilaku menyimpang yang merugikan dan melindungi warga masyarakat dan bangsa dari dampak buruk aktivitas perdagangan global, lebih merupakan fungsi hukum pidana. Fokus bahasan dalam tulisan ini lebih terarah pada fungsionalisasi hukum pidana dalam mendampingi bekerjanya hukum ekonomi tersebut di atas.

Dari Planed Economy Menuju Market Economy

Liberalisasi ekonomi dan perdagangan diartikan sebagai berkurangnya peranserta negara dalam aktivitas ekonomi dan perekonomian, dan pergeseran fungsi pengaturan dari yang semula di tangan negara kepada mekanisme pasar. Konsep liberalisasi ekonomi dan perdagangan berkaitan dengan pergeseran konsep ekonomi yang semula planned economy kemudian beralih ke market economy. Fungsi hukum di dalam sistem market economy jelas berbeda dengan fungsi hukum di dalam sistem planned economy.

Dalam kerangka planned economy hukum cenderung dipakai sebagai pemberi kewenangan-kewenangan baru kepada pemerintah (dan segenap aparatnya) atau juga sebagai pemberi legitimasi-legitimasi pada setiap tindakan pemerintah (dan segenap aparatnya) itu. Sementara market economy, sistem hukum lebih menampakkan watak atau karakternya yang liberal. Dalam sistem ekonomi pasar global, sistem hukum memerlukan reformasi dalam format dan fungsinya yang sesuai dengan tuntutan aktivitas ekonomi yang berlangsung dalam semangat pasar bebas. Dalam konteks liberalisasi ekonomi dan perdagangan ini, pemerintah Indonesia tampaknya telah melaku-kan langkah-langkah deregulasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Deregulasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan, pada hakikatnya bukanlah peniadaan peran hukum dalam pengaturan kehidupan ekonomi, melainkan melakukan perubahan (reformasi) dalam pola pengaturan ke arah yang lebih demokratis, liberal dan akomodatif terhadap dinamika pasar.

Reformasi Hukum dan Fungsionalisasi Hukum Ekonomi

Reformasi dalam bidang hukum/ hukum ekonomi, mengandaikan keniscayaan hubungan antara perkembangan ekonomi dan perkembangan hukum. Max Weber termasuk perintis yang melihat hubungan erat antara munculnya hukum modern dengan kapitalisme, yang berarti bahwa Weber melihat kapitalisme itu sebagai sebab terjadinya perubahan dalam tipe hukum dari tradisional menjadi modern. Kapitalisme, menurut Weber, menuntut suatu tatanan normatif dengan tingkat yang dapat diperhitungkan (calculability atau predictability) secara akurat. Hasil penelitian Weber terhadap sistem-sistem hukum yang ada di zamannya, sampai pada kesimpulan bahwa hanya hukum modern yang rasional atau memiliki rasionalitas formal yang bersifat logis yang mampu memberikan tingkat per-hitungan yang dibutuhkan. Legalisme atau pandangan yang menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum utama dan terpenting, dipandang memberikan dukungan kepada perkembangan kapitalisme dengan memberikan suasana yang stabil dan dapat diperhitungkan.

Menurut Max Weber, jika hukum hendak difungsikan dalam memfasilitasi kehidupan ekonomi, maka harus diciptakan hukum yang memiliki beberapa karakteristik, Berikut ini akan beberapa karakteristik hukum yang dimaksudkan oleh Max Weber.
1.      predictability. Maksudnya bahwa hukum harus dapat memperkirakan persoalan yang akan timbul di masa yang akan datang dan memberikan gambaran mengenai langkah-langkah apa yang harus diambil.
2.      stability atau stabilitas. Maksudnya, hukum dibuat untuk menciptakan stabilitas.
3.      fairness atau keadilan seperti persamaan di depan\ hukum.
4.      education atau pendidikan. Dalam hal ini maksudnya adalah pendidikan (tinggi) hukum yang seharusnya dapat menjawab tantangan global.
5.      special ability of the lawyer. Dalam hal ini maksudnya, para lawyer diharapkan mempunyai kemampuan yang baik dalam melakukan pekerjaan profesionalnya; tidak sekedar menjadi partner bagi penguasa, tukang stempel atau seseorang yang hanya mengurus soal finansial yang akan diterima saja.

Dan dalam melakukan pembaharuan hukum nasional, perlu diperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga menghasilkan suatu produk perundang-undangan yang baik dan responsif terhadap kebutuhan hukum masyarakat. Dalam hal ini yang terutama ialah produk hukum atau perundang-undangan yang kondusif dalam mengakomodasi kepentingan berbagai pihak di dalam situasi pasar global mendatang.

Arief Gosita menginventarisasi per-syaratan yang sekaligus dapat dijadikan alat pengukur kualitas hukum atau suatu perundang-undangan.
1.      rasional positif.
2.      dapat dipertanggungjawabkan.
3.      bermanfaat.
4.      mengembangkan rasa kebersamaan, kerukunan, kesatuan dan persatuan.
5.      mengembangkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.
6.      mengutamakan perspektif kepentingan yang diatur/ dilayani dan bukan perspektif kepentingan yang mengatur/melayani.
7.      sebagai pengamalan Pancasila.
8.      berlandaskan hukum secara integratif.
9.      berlandaskan etika.
10.  mengembangkan hak asasi dan kewajiban asasi yang bersangkutan.
11.  tidak dapat dipakai sebagai dasar hukum untuk menyalahgunakan kedudukan, kewenangan, kekuasaan dan kekuatan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
12.  mengembangkan respon/keadilan yang memulihkan.
13.  tidak merupakan faktor viktimogen.
14.  tidak merupakan faktor kriminogen.
15.  mendukung penerapan unsur-unsur manajemen: kooperasi, koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi.
16.  berdasarkan citra yang tepat mengenai objek dan subjek hukum, sebagai manusia yang sama harkat dan martabatnya.
17.  mengembangkan lima senses, yaitu sense of belonging (rasa memiliki), sense of responsibility (rasa tanggungjawab), sense of commitment (memiliki komitmen), sense of sharing (rasa berbagi), dan sense of serving (saling melayani).

Demikian pula sejumlah persyaratan di atas, tidak terbatas dalam bidang hukum ekonomi saja, melainkan juga berlaku untuk semua bidang hukum termasuk hukum pidana. Sejalan dengan semakin derasnya aktivitas ekonomi berskala global tahun-tahun terakhir ini, terlihat pula adanya political will
yang kuat pada pemerintah negara-negara berkembang untuk berbenah diri, membenahi semua potensi yang diperlukan dalam mendorong laju akselerasi perdagangan global tersebut sehingga bisa mem-berikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Peran Hukum Pidana Mendapingi Hukum Ekonomi

Hukum pidana dapat dipandang sebagai suatu bidang hukum yang mandiri, Sebagai suatu bidang hukum yang mandiri, hukum pidana memiliki kaidahkaidah tersendiri beserta sanksi pidananya yang dituangkan di dalam bentuk perundang-undangan tersendiri. Dalam konteks kajian ini, peran terpenting hukum pidana yang ingin dikedepankan adalah untuk mendampingi bekerjanya hukum ekonomi yang memiliki posisi primer dalam memfasilitasi aktivitas ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat, baik dalam hubungan berskala individual maupun kolektif.

Hukum pidana merupakan bagian dari sistem hukum pada umumnya dan bagian dari sistem peradilan pidana khususnya. Dalam posisi demikian itu, hukum pidana merupakan salah satu instrumen pengaturan dan perlindungan berbagai kepentingan secara seimbang di antara kepentingan pemerintah atau negara, kepentingan masyarakat atau kolektivitas, serta kepentingan individu atau perorangan, termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Sejalan dengan doktrin hukum pidana sebagai ultimum remedium, artinya penggunaan hukum pidana merupakan pilihan terakhir dalam mencegah dan menanggulangi perilaku kriminal di dalam masyarakat. Doktrin ini mengandaikan bahwa sarana utama dan pertama dalam mengatur perilaku warga masyarakat, baik individu maupun kolektif, haruslah menggunakan sarana hukum-hukum lain selain hukum pidana.

Norma-norma hukum, hukum ekonomi minus hukum pidana tadi, diharapkan dapat dengan cermat mengatur perilaku warga masyarakat, sehingga selain aktivitas ekonomi dapat berlangsung dengan baik juga dapat melindungi warga masyarakat dari kemungkinan terjadinya perilaku kriminal yang menimbulkan korban. Dalam operasionalnya, hukum pidana dengan kaidah dan sanksinya berperan memback up bekerjanya hukum ekonomi.

Salah satu contoh kongkrit tidak adanya atau kurangnya kepastian hukum di dalam mekanisme peradilan pidana di Indonesia, ditandai dengan kecenderungan selama ini di dalam mengadakan hubungan perjanjian dagang transnasional, pihak asing selalu mensyaratkan klausula arbitrase dalam penyelesaian sengketa. Erman Radjagukguk yang melakukan identifikasi terhadap alasan-alasan rasional kecenderungan tersebut, menyebutkan beberapa alasan.19
1.      pada umumnya pihak asing kurang mengenal sistem hukum negara lain.
2.      adanya keraguan akan sikap objektif pengadilan setempat dalam memeriksa dan memutus perkara yang di dalamnya terlibat unsur asing.
3.      pihak asing masih meragukan kualitas dan kemampuan pengadilan negara berkembang dalam memeriksa dan memutus perkara yang berskala internasional dan alih teknologi.
4.      timbulnya dugaan dan kesan bahwa penyelesaian melalui jalur formal badan peradilan akan memakan waktu lama.

Contoh kongkrit lainnya tentang tidak adanya atau lemahnya kepastian hukum dalam sistem peradilan di Indonesia dapat disimak dari fenomena tingginya kasus-kasus korupsi yang terjadi, namun kasus-kasus yang disidangkan di pengadilan selalu kandas.

Keadaan-keadaan di atas jelas menunjukkan perlunya reformasi di dalam sistem peradilan pidana Indonesia, sehingga dapat berperan sebagaimana mestinya dalam mendampingi bekerjanya hukum ekonomi di era ekonomi global mendatang. Dengan kata lain ingin ditegaskan bahwa reformasi sistem
peradilan pidana merupakan suatu keniscayaan, conditio sine qua non, guna dapat berfungsi secara berdaya guna bagi semua pelaku ekonomi, serta mampu mencegah dan menanggulangi terjadinya perbuatan-perbuatan yang berpotensi menimbulkan korban fisik, ekonomi dan mental.

Tuntutan kesiapan sistem peradilan pidana ini bukanlah sesuatu yang berlebihan, mengingat aktivitas ekonomi dan bisnis di era ekonomi global dapat pula terjadi, dalam skala yang lebih besar serta lebih rumit penyelesaiannya. Sebagaimana diidentifikasi oleh Muladi,21 kejahatan ekonomi merupakan kejahatan yang dilakukan tanpa kekerasan (nonviolent), disertai dengan kecurangan (deceit), penyesatan (misprecentation), penyembunyian kenyataan (concealment of facts), manipulasi, pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau pengelakan terhadap peraturan (illegal circumtances). Di balik semua itu, apa yang terjadi sebenarnya merupakan praktik bisnis yang tidak jujur.

Sejalan dengan perkembangan ekonomi yang semakin mengglobal, aktivitas ekonomi juga tidak akan sepi dari praktik-praktik yang bersifat kriminal baik dilakukan oleh subjek hukum individu maupun berupa sumjek hukum korporasi. Secara sektoral dapat dikemukakan bahwa, berbagai perundang-undangan baru di bidang ekonomi, serta Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah mengakomodasi korporasi sebagai subjek tindak pidana selain manusia/orang. Perkembangan ini merupakan bagian dari reformasi hukum pidana dan sistem peradilan pidana di Indonesia.

Dalam kerangka reformasi sistem peradilan pidana ini, Muladi mengutarakan beberapa karakteristik hukum pidana yang harus dikembangkan.
1.      bahwa hukum pidana nasional di masa datang yang dibangun itu harus memenuhi pertimbangan sosiologis, politis, praktis dan juga dalam kerangka ideologis Indonesia;
2.      hukum pidana yang dibangun itu tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang bertalian dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia;
3.      hukum pidana yang dibangun itu harus menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh di dalam pergaulan masyarakat beradab;
4.      oleh karena sistem peradilan pidana, politik kriminal dan politik penegakan hukum merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik sosial, maka hukum pidana mendatang juga harus memikirkan aspek-aspek yang bersifat preventif;
5.      hukum pidana dan sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan bagian dari super sistem yang lebih besar, sistem politik, ekonomi, sosial budaya, hankam dan sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh karena itu harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan efektivitas fungsinya di dalam masyarakat. Dengan karakteristik masa depan seperti tersebut di atas, dapat diharapkan hukum pidana dan sistem peradilan pidana nasional akan dapat memberikan jaminan kepastian hukum yang diperlukan, dan dengan demikian akan dapat berfungsi dengan semestinya mendampingi atau mem-back up bekerjanya hukum ekonomi.

Penutup

Liberalisasi perdagangan sebagai bagian dari proses menuju ekonomi global, menuntut pula dilakukan perubahan pada sistem hukum yang berlaku. Liberalisasi yang menandai beralihnya sistem ekonomi negara dari planned economy menuju market economy, mensyaratkan model pengaturan yang lebih sesuai dengan mekanisme dan dinamik pasar yang bercorak liberal dan demokratis. Dalam situasi ekonomi yang berlangsung dalam bingkai market economy, regulasi atau pengaturan aktivitas ekonomi dilakukan dengan memfungsikan hukum ekonomi serta ditopang oleh hukum pidana.

Perubahan corak ekonomi ini yang menuntut perubahan pada sistem hukumnya, tidak serta merta dapat berlangsung cepat dan mudah. Jika perubahan dalam pengelolaan aktivitas ekonomi dapat dilakukan dengan relatif mudah, maka fungsionalisasi sistem hukum baik hukum ekonomi maupun hukum pidana lebih memerlukan keseksamaan. Hal ini disebabkan, sistem hukum di masa Orde Baru dengan model planned economy cenderung tidak memberikan jaminan kepastian hukum, sementara model market
economy sebagai model ekonomi masa mendatang di era ekonomi global dan pasar bebas, mensyaratkan dengan sangat adanya jaminan kepastian hukum ini.

Untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum ini, reformasi hukum merupakan conditio sine qua non, prasyarat mutlak yang harus disiapkan. Hukum pidana sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, yang berfungsi mem-back up bekerjanya hukum ekonomi, dengan sendirinya merupakan bidang hukum yang harus mengalami banyak pembenahan mendasar, sehingga dapat
memberikan jaminan kepastian hukum.

Daftar Pustaka
Surbakti, Natangsa. SH.,MHum. 2005. Aktualisasi Fungsi Hukum Pidana dalam Ekonomi Global. http://eprints.ums.ac.id/348/1/4._NATANGSA.pdf

Tidak ada komentar :

Posting Komentar