TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK
PEKERJA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Disusun Oleh :
Elin
Eliani (22210333)
Galih
Pangestu (22210924)
Harry
Farhan (23210157)
Saepudin
(26210320)
Tiara Lenggogeni (26210888)
Abstrak
Perlindungan
hak-hak tenaga kerja sangat penting untuk
menumbuhkan
industri. Praktek menunjukkan bahwa hak-hak pekerja
masih sangat
lemah. Karena itu dilakukan perubahan atas undangundang
ketenagakerjaan
dengan UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Dengan adanya sistim
yang baru
ini, diharapkan akan terwujudnya kepastian hukum dalam
penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dengan proses yang
cepat,
tepat, adil dan murah sehingga dapat menimbulkan kepercayaan
dari para
investor. Ketidakpastian dan multitafsir dalam peraturan
bidang
hubungan industrial sering kali menimbulkan konflik,
perselisihan,
dan pemogokan yang merugikan baik bagi pekerja
maupun bagi
pengusaha.
A.
Pendahuluan
Babak baru
penyelesaian sengketa ketenagakerjaan telah dimulai,
yang
ditandai dengan diundangkannya RUU tentang Penyelesaian
Perselisihan
Hubungan Industrial menjadi UU No. 2 Tahun 2004 pada
tanggal 14
Januari 2004. Pada Pasal 126 UU No. 2 Tahun 2004 disebutkan
bahwa UU ini
mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan. Artinya,
UU ini
semestinya berlaku efektif tepat pada tanggal 14 Januari 2005.
Namun dengan
pertimbangan perlu pemahaman dan berbagai persiapan
sarana dan
prasarana, sumber daya manusia, baik di lingkungan
pemerintah
maupun lembaga peradilan dalam pelaksanannya, maka
pemberlakuan UU ini ditunda
oleh pemerintah sampai tanggal 14 Januari
B.
Aspek Hukum Perlindungan Hak-Hak Pekerja Dalam Sengketa
Ketenagakerjaan
Membicarakan
perlindungan terhadap buruh haruslah bermula dari
pemahaman
terhadap hubungan yang terjadi antara buruh-majikan.
Dalam
hubungan buruh-majikan, posisi buruh selalu subordinatif dengan
majikan. Hal
ini merupakan akibat dari tidak seimbangnya kekuasaan
ekonomi (yang
pada akhirnya menimbulkan ketidakseimbangan
kekuasaan
politik) yang melekat pada buruh dan pada majikan. Menurut
Soepomo,
“sosiologis buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidakmempunyai bekal
hidup lain daripada tenaganya itu, ia terpaksa untuk
bekerja pada
orang lain. Dan majikan inilah yang pada dasarnya
menentukan
syarat-syarat kerja itu.” 3 Atau yang dalam
hubungan-
hubungan
pribadi disebut sebagai kelemahan struktural.4
Ditinjau
dari teori ketidakseimbangan kompensasi, maka fenomena
tersebut
menunjukkan bahwa antara pemberi kerja dan penerima kerja
ada
ketidaksamaan kedudukan secara sosial-ekonomis. Penerima kerja
sangat
tergantung pada pemberi kerja sehingga hubungan kerja yang
timbul
bersifat subordinatif. Konsekuensi pola hubungan yang
subordinatif
ini menghendaki adanya hukum perburuhan yang memberi
hak lebih
banyak kepada pihak yang lemah daripada pihak yang kuat.
Hukum
bertindak “tidak sama” kepada masing-masing pihak dengan
maksud agar
terjadi suatu keseimbangan yang sesuai. Menurut prinsipprinsip
ketidak-samaan,
pihak yang lemah harus mendapatkan
kesempatan
yang lebih tinggi.5 Dari sudut
kontitusi Indonesia, jelas hal
tersebut
relevan dengan ketentuan Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945.6
Di sisi
lain, dalam prakteknya seringkali terjadi perbenturan antara
kepentingan
pengusaha dengan pekerja. Kondisi inilah pada akhirnya
dapat memicu
terjadinya sengketa antara pengusaha dengan pekerja,
sehingga
diperlukan aturan hukum yang memadai untuk
menjembataninya.
Hal ini sesuai dengan fungsi hukum untuk mengatur
dan menjaga
ketertiban masyarakat, serta memberikan perlindungan bagi
kepentingan
masyarakat. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum
harus
dilaksanakan baik secara normal, damai dan bahkan dapat juga
terjadi
karena pelanggaran hukum. Perlindungan hukum ini penting untukmenjamin agar
hak-hak manusia sebagai subyek hukum tidak dilanggar
atau
dirugikan oleh pihak lainnya. Suatu hak mempunyai sifat hukum
sehingga hak
tersebut dilindungi oleh sesuatu sistim hukum.7 Dengan
demikian,
hak merupakan kepentingan yang pada hakikatnya
mengandung
kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam
melaksanakannya.
Dalam konteks UU No. 2 Tahun 2004, perlindungan hak pekerja
dalam
sengketa ketenagakerjaan dapat dilihat dari materi yang diatur
dalam UU itu
sendiri. Secara umum, UU ini mengatur hal-hal sebagai
berikut;
1. Ketentuan
Umum yang memuat batasan beberapa isitilah
seperti:
perselisihan hubungan industrial, perselisihan hak,
perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja,
perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha,
perusahaan,
serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh,
perundingan
bipartit, mediasi hubungan industrial atau mediasi,
mediator
hubungan industrial atau mediator, konsiliasi hubungan
industrial
atau konsiliasi, konsiliator hubungan industrial atau
konsiliator,
arbitrase hubungan industrial atau arbitrase, arbiter
hubungan
industrial atau arbiter, pengadilan hubungan industrial atau
pengadilan
khusus, hakim, hakim ad-hoc, hakim kasasi dan menteri.
2. Jenis
Perselisihan Hubungan Industrial meliputi : perselisihan hak,
perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan
antar serikat/pekerja serikat buruh.
3. Ruang
lingkup Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Industrial
meliputi :
Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
menyangkut
masalah : penyelesaian melalui bipartit, penyelesaian
melalui
mediasi, penyelesaian melalui konsiliasi, penyelesaian melalui
arbitrase;
Pengadilan Hubungan Industrial menyangkut masalah :
umum, hakim,
hakim ad-hoc, dan hakim kasasi, kepaniteraan dan
panitera
pengganti; Penyelesaian perselisihan melalui Pengadilan
Hubungan
Industrial menyangkut masalah : penyelesaian perselisihan
oleh hakim,
penyelesaian perselisihan oleh hakim kasasi; sanksi
administratif
dan ketentuan pidana
Berdasarkan
gambaran umum di atas, penyelesaian sengketa
ketenagakerjaan
dalam UU N0. 2 Tahun 2004 yang dikenal dengan
C.
Kritik Terhadap UU No. 2 Tahun 2004 Tentang PPHI
Idealnya suatu produk hukum harus dibentuk berdasarkan tiga tolak
ukur
validitas/keberlakuan hukum, yaitu dimensi yuridis, sosiologis dan
filosofis.9
Begitu juga hendaknya dengan UU No. 2 Tahun 2004 yang harus
memenuhi
ketiga aspek bagi validitas atau pemberlakuan hukum.
Meskipun UU
ini memberikan harapan baru dalam mekanisme
penyelesaian
perselisihan hubungan Industrial, namun dari sisi lain,
terdapat
beberapa hal yang harus dikritisi untuk perbaikan perlindunganhak-hak pekerja
dalam penyelesaian sengketa ketenagakerjaan ke depan
dengan
uraian sebagai berikut:
1. Peran
serikat perkerja/Serikat Buruh sebagai dapat bertindak sebagai
kuasa hukum
untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial
untuk
mewakili anggotanya.
Pada Pasal
UU 87 UU No 2 tahun 2004 disebutkan bahwa serikat
pekerja/serikat
buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak
sebagai
kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan
Industrial
untuk mewakili anggotanya. Sementara itu, UU No 18
Tahun 2003
tentang Advokat pada Pasal 31 mengatur bahwa setiap
orang yang
dengan sengaja menjalankan profesi Advokat dan bertindak
seolah-olah
sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur
dalam UU
Advokat, dipidana penjara maksimal 5 tahun dan denda
maksimal Rp
50 juta. Dengan demikian, secara horizontal terdapat
hubungan
yang kontradiktif antara kedua UU tersebut.
Permasalahannya
tidak sesederhana untuk mengatakan bahwa
ketentuan
dalam UU No 2 tahun 2004, Pasal 87 adalah Lex
Specialis
dalam segi
pengaturan tentang kuasa hukum. Lalu tentunya,
pengaturan
dalam UU No 18, Pasal 31 juga Lex Specialis dalam segi
pengaturan
tentang profesi Advokat. Apalagi secara kronologis, UU No
2 tahun 2004
disahkan tanggal 14 Januari 2005, dan UU No 18 tahun
2003 tanggal
5 April 2003. Dengan asumsi bahwa pembuat UU No 2
tahun 2004
tentang Pasal 31 dalam UU Advokat, dari segi tata
perundang-undangan
seharusnya ada klausula pengamanan agar ada
kepastian
hukum terhadap ketentuan yang berkaitan dengan UU lain.
Oleh karena
itu, ke depan perlu dilakukan upaya sinkronisasi antara
kedua UU
tersebut bahkan merubah ketentuan yang kontradiktif
tersebut
supaya selaras.
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek
perlindungan
hak-hak pekerja/buruh dalam PPHI masih mengandung
kelemahan-kelemahan,
baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Beberapa
kelemah-kelemahan di atas perlu dicarikan jalan keluarnya agar
sistim
penyelesaian perselisihan perburuhan yang cepat, tepat, adil dan
murah sebagaimana
dicitakan dapat tercapai. Namun yang perlu diingat
bahwa
prinsip penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
dikehendaki
dalam UU ini lebih mengedepankan musyawarah untuk
mufakat di
luar pengadilan, ketimbang jalur pengadilan. Hal ini
ditegaskan
dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004 yang mewajibkan
ditempuhnya
mekanisme perundingan bipartit secara musyawarah untuk
mufakat
dalam penyelesaian perselisihan.
Dengan
demikian, jika dikaitkan dengan pola hubungan industrial,
maka UU
tersebut lebih menghendaki pola hubungan industrial harmoni,
ketimbang
pola hubungan industrial konflik ataupun koalisi.11 Pola
hubungan
industrial harmoni adalah suatu model hubungan industrial
yang
menekankan pada musyawarah untuk mufakat. Hal ini ditandai
dengan
frekuensi konsensus yang tinggi sedangkan frekuensi konflik
rendah.
Ketentuan ini sesuai pula dengan pola hubungan Industrial
Pancasila
(HIP) yang menganut asas musyawarah untuk mufakat dalam penyelesaian
perselisihan sebagaimana tercermin dalam kelima sila
(Pancasila).
Selanjutnya,
konsep HIP ini dimanifestasikan pada asas
“partnership”
atau kemitraan, baik dalam produksi (production),
keuntungan (profit)
maupun tanggungjawab (responbility). Oleh karena
itu, posisi
pekerja tidak dianggap sebagai faktor produksi, melainkan mitra
dalam proses
produksi.12 Apabila konsep HIP
ini diterapkan oleh masingmasing
pihak secara
sukarela dan tidak ‘diplintirkan’ penerapannya seperti
pada
pemerintahan orde baru, maka tidak akan ada aksi-aksi pekerja yang
semakin
marak akhir-akhir ini. Pada akhirnya, perlu disadari bahwa
penyelesaian
konflik dengan cara kekerasan hanya akan melahirkan
segudang
masalah yang justru merugikan kita semua.
D.
Penutup
UU No. 2
Tahun 2004 telah diundangkan dan telah berlaku efektif
pada tangal
14 Januari 2006 yang lalu. Dengan adanya sistim yang baru
ini,
diharapkan akan terwujudnya kepastian hukum dalam penyelesaian
perselisihan
hubungan industrial dengan proses yang cepat, tepat, adil dan
murah
sehingga dapat menimbulkan kepercayaan dari para investor.
Ketidakpastian
dan multitafsir dalam peraturan bidang hubungan
industrial
sering kali menimbulkan konflik, perselisihan, dan pemogokan
yang
merugikan baik bagi pekerja maupun bagi pengusaha.
Meskipun
demikian, masih terdapat beberapa kelemahan yang harus
diperhatikan
untuk perbaikan perlindungan hak pekerja dalam UU No. 2
Tahun 2004
yang meliputi hal-hal sebagai berikut: peran serikat pekerja
untuk
bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di PHI berpotensi
bertentangan
UU Advokat, proses rekruitmen hakim Ad-Hoc yang
mewakili
pekerja masih terkesan diskriminatif, prinsip peradilan dengan
biaya murah
masih terhambat dengan adanya kewajiban buruh untuk membayar biaya eksekusi
yang nilai gugatnnya di atas Rp. 150.000.000,-
,kurang jelasnya
pengaturan tentang pembuktian telah dilakukannya
perundingan
bipartit, dan hukum acara yang digunakan masih belum
mempertimbangkan
kondisi pekerja.
Terlepas
dari perdebatan apakah peraturan baru yang diharapkan
dapat
mengakomodir kelemahan dari peraturan yang lama, perlu diingat
bahwa
peraturan yang baik belum tentu menjamin benar-benar
terwujudnya
sistim yang baik ataupun hasil yang baik pula. Pada akhirnya,
sistim yang
baik harus ditunjang dengan aparat penegak hukum, terutama
hakim-hakim
yang jujur, baik dan kompeten. Oleh karenanya mereka akan
menduduki
posisi yang sangat penting dalam kebangkitan bangsa ini.
Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial akan menjadi salah satu legal
light
house (mercu suar hukum) bagi para pelaku ekonomi
terutama
investor
untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Peraturan-peraturan
ketenagakerjaan
yang berlaku saat ini, yang menurut para pelaku ekonomi
merupakan
peraturan yang tidak ramah investasi dapat diuji di Pengadilan
tersebut.
Untuk itu, posisi hakim sebagai salah satu pembentuk hukum
akan menjadi
sangat strategis di sini.
Harapan-harapan
itulah yang saat ini dititipkan pada hakim
Pengadilan
Hubungan Industrial. Oleh karenanya dituntut kemampuan
dari para
hakim untuk tidak hanya melihat Undang-Undang sebagai
tulisan mati
(dead letter rules), seorang hakim
tidak boleh bersikap terlalu
formalistis,
hakim harus bersikap realistis untuk melihat realitas yang ada.
Dengan masih
kurang ramah atau kurang jelasnya peraturan
ketenagakerjaan
yang ada, maka analisis ekonomi ke depan (forward
looking
analysis) akan memungkinkan para hakim untuk tetap berpijak
pada
peraturan yang ada, tetapi pada saat yang sama juga
mengembangkannya
seirama dengan strategi pemulihan ekonomi
nasional.
Itulah seninya, pencarian segi ekonomi di balik peraturan
perundangan,
tanpa mengorbankan kepastian hukum.
E.
Daftar Pustaka
Aloysius
Uwiyono, Hak Mogok Di Indonesia, Program Pascasarjana Fakultas
Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
A.A.G.
Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan
Perkembangan
Sosial
Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III, Sinar Harapan,
Jakarta,
1990.
Departemen
Tenaga Kerja RI, Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial
Pancasila
(HIP), Jakarta, 1985.
Eugenius
Sumaryono, Filsafat Hukum; Sebuah Pengantar Singkat,
Universitas
Atmajaya, Yogyakarta, 1989
Hanami T.
Blan Pain, Industrial Conflict Resolution in Market
Economics,
Kluwer Law
and Taxation Publisher, 1987.
Iman
Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 2003.
Lalu Husni, Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial Melalui
Pengadilan
dan Di Luar Pengadilan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004.
Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 1999.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar