Sabtu, 02 Juni 2012

Review Jurnal Hukum Perdata



 








HUKUM PERDATA MENGENAI PERKEMBANGAN DOKTRIN TINDAKAN NEGARA (ACT OF STATE DOCTRINE) SETELAH KONSEP KEKEBALAN
NEGARA (TEORI IMUNITAS)



Disusun Oleh :
Elin Eliani (22210333)
Galih Pangestu (22210924)
Harry Farhan (23210157)
Saepudin (26210320)
Tiara Lenggogeni (26210888)

Abstack
Konsep [dari;ttg] imunitas absolut tidaklah lebih panjang dipelihara oleh karena pengenalan melawan terhadap tindakan doktrin status. Bagaimanapun, walaupun ada berhenti konsep, perlindungan kedaulatan status tinggal dengan kuat pada tempatnya. Perlindungan [dari;ttg] imunitas absolut dapat diwarisi ketika suatu status bertindak iure imperii, tetapi bukan [itu] berhubungan dengan berbagai hal suatu alam[i] komersil. Tindakan doktrin status akan [jadi] [dianggap/disebut] sebagai tindakan status, dengan ketentuan bahwa [itu] diselenggarakan di dalam yurisdiksi yang wilayah [itu]. Seperti itu, doktrin dapat menggunakan untuk menentukan apakah [itu] adalah iure imperii atau iure gestiones.
 Kata Kunci: imunitas mutlak, kekebalan negara, tindakan doktrin status

A. Pendahuluan
Kedaulatan merupakan aspek utama dalam pergaulan negara  yang  satu  dengan  lainnya  (dan organisasi-organisasi negara) yang diatur oleh hukum.  Brownlie[1] mengatakan bahwa kedaulatan suatu negara akan menentukan bentuk hukum negara tersebut sedangkan hukum  akan  menentukan  syarat  adanya  kedaulatan.  Pengertian kedaulatan ini memang merupakan kata yang sulit karena dapat menimbulkan arti yang berlainan. Jika arti kedaulatan itu dimaksudkan bahwa negara mempunyai kekuasaan tertinggi, maka pengertian inilah yang banyak menimbulkan salah paham.[2] Karena tidak mungkin hukum internasional mengikat negara, jika negara merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui kekuasaan yang lebih tinggi.


Pengertian kedaulatan negara ini apabila dikaitkan dengan tindakan negara (act of State) misal pengambilalihan hak milik orang asing, pencabutan ijin usaha orang asing dan sebagainya ternyata mengalami perkembangan yang pesat. Permasalahan yang timbul dari tindakan negara tersebut adalah apakah tindakan negara dari suatu negara berdaulat dapat dituntut oleh suatu pengadilan di luar wilayahnya.  Gerald Fitzmaurice[3] mengemukakan dua hal; (a) mengakui kekebalan negara secara mutlak dari proses persidangan apapun kecuali atas kesukarelaan; (b) membedakan antara tindakan negara dan tindakan non negara, dengan mengakui kekebalan bagi tindakan negara dan menolak kekebalan bagi tindakan non negara.
Pada mulanya konsep kekebalan negara yang dianut adalah kekebalan mutlak, namun konsep kekebalan mutlak ini hanya bisa bertahan sampai abad ke 19.[4] Hal tersebut disebabkan karena terjadinya praktek hukum pengakuan terhadap doktrin tindakan negara, sehingga pendukung doktrin kekebalan absolut menjadi berkurang. Karena pada kenyataanya penerapan kekebalan absolut sangat sulit dilakukan. Namun demikian, dalam yurisprudensi beberapa negara, perlindungan terhadap suatu negara dalam bentuk imunitas kedaulatannya, hanya diberikan apabila negara yang bersangkutan telah bertindak dalam kualitasnya sebagai suatu negara dengan kekuatan politisnya bukan sebagai pedagang[5].
Di Inggris penerapan konsep kekebalan negara sangat dibatasi, yang hanya dapat diterapkan pada aktivitas-aktivitas publik dan pemilikan hak untuk tujuan publik. Sedangkan Amerika Serikat, kekebalan   negara ditolak   jika  tindakan-tindakan  negara yang  dilakukan tidak berkaitan dengan fungsi pemerintah. Sedangkan di Belanda dan Jerman[6] kekebalan negara hanya diberikan terhadap tindakan negara dalam kapasitasnya sebagai imperium.  Tetapi dalam   praktek  khususnya  di  Belanda  tidak dapat menerapkan konsep tindakan negara atas hak milik orang asing (property) dan aktivitas-aktivitas negara asing berdasarkan kedaulatannya. Karena sulitnya untuk membedakan antara tindakan negara dalam kapasitasnya sebagai negara berdaulat (acta imperii) dan tindakan negara dalam melakukan aktivitas ekonomi (acta gestionis), terutama sebelum tahun 1943[7].
Perbedaan pendapat antara penerapan konsep kekebalan negara yang mutlak (absolut) dan kenyataan dalam praktek berbeda di setiap negara. Disatu pihak banyak perusahaan negara maju yang telah melakukan investasi untuk mengembangkan usahanya di negara lain. Tetapi dilain pihak dalam beberapa kasus  terdapat  tindakan  negara  yang diadili pengadilan asing berkenaan  dengan  pengambilalihan[8], namun tidak pernah dilakukan eksekusi atas putusan pengadilan asing tersebut.

1. Teori Imunitas
Konsep kekebalan negara sebenarnya telah menjadi pusat perhatian dan perdebatan para ahli hukum internasional sejak abad ke 19. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat suatu fenomena baru yaitu usaha kodifikasi hukum internasional yang mendorong ke arah penetapan posisi negara-negara dan kelompok-kelompok negara dalam kaitannya dengan kekebalan negara[9]. Terhadap masalah kekebalan negara, menunjukan bahwa  perkembangan  hukum  kekebalan  negara  tidak  perlu membahasnya secara khusus, karena sebagian besar sumber hukum kekebalan  negara  diperoleh  dari  keputusan-keputusan  pengadilan sebagai bukti praktek negara dalam bidang ini[10]. Tetapi saat ini terdapat kecenderungan ke arah pembatasan kekebalan negara pada tingkatan-tingkatan tertentu yang disebut iure imperii. Oleh karena itu, tidak ada negara yang mengeluarkan  kebijaksanaan  yang  bertentangan  dengan  kecenderungan ini.
Adanya kecenderungan untuk membatasi kekebalan negara, masalah kekebalan negara dari yurisdiksi negara lain tetap merupakan  bagian  penting  hukum  internasional.  Karena  kekebalan negara pada dasarnya mencerminkan struktur hubungan internasional yang diatur oleh hukum internasional. Dan salah satu ciri kedaulatan adalah kekebalan negara dari campur tangan  atau  gangguan  dalam  pergaulan  internasional. Oleh karena itu, masalah kedaulatan sangat erat hubungannya dengan yurisdiksi negara. Namun, dalam hukum internasional prinsip kekebalan negara harus diartikan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban (positif), agar prinsip ini dapat mendefinisikan tindakan-tindakan yang melanggar dan tidak melanggar hukum[11].
Terhadap konsep kekebalan negara sebagian ahli memandang adanya perkembangan  yang  dapat  mengubah konsep  klasik kekebalan  negara,  karena  turut  campurnya  negara  dalam bidang  perekonomian  nasional  dan  internasional  yang semakin meluas. Keadaan ini merupakan latar belakang sosial perubahan konsep kekebalan negara yang merupakan perubahan sifat,  dan fungsi   negara   pada  umumnya.   Seperti,  pembentukan perusahaan-perusahaan milik negara, monopoli perdagangan asing dan berbagai bentuk perdagangan yang  dilakukan  oleh  negara,  menyebabkan perubahan-perubahan penting dalam hukum kekebalan negara[12].
Namun yang terpenting adalah bahwa kekebalan negara hanya berlaku dalam kasus-kasus di mana kekebalan negara dapat berfungsi menjamin kepentingan negara atau kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan, bukan untuk hubungan ekonomi biasa[13].  Karena pada umumnya pada hubungan ekonomi internasional terdapat dua bentuk [14]: (1) Suatu negara dapat menjalin hubungan langsung dengan negara-negara   lain  sebagai  pemerintah;  (2)   hubungan   melalui perusahaan-perusahaan negara yang tidak bertindak atas nama negara.
Lain halnya jika perusahaan-perusahaan negara dianggap sebagai organ negara dalam kaitannya dengan konsep hukum internasional, maka dalam keadaan-keadaan tertentu perusahaan negara berhak menuntut kekebalan.  Karena tidak ada ukuran-ukuran yang diakui secara universal dalam hukum internasional untuk mendefinisikan perusahaan negara sebagai organ negara atau kekayaan negara[15].  Karena dilain pihak perusahaan milik negara  dipandang sebagai badan hukum terpisah dan memliki otonomi finansial dan ekonomi tertentu.  Sedangkan  menurut  Undang-undang  Hukum  Perdata  negara-negara  sosialis  di  Eropa, perusahaan milik negara tidak bertanggung jawab atas utang negara, demikian pula negara tidak bertanggung jawab atas utang perusahaan negara[16]. Perlu pula diketahui bahwa perusahaan negara meskipun tidak diakui sebagai pemilik asetnya, tapi dapat bertindak untuk kepentingan sendiri baik tanggung jawab maupun kewajibannya.
Dalam hal ini yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa kedudukan perusahaan milik negara harus ditentukan berdasarkan lex personalis yaitu atas dasar hukum negara pemilik, kecuali perusahaan-perusahaan yang didirikan di luar negeri harus tunduk pada peraturan-peraturan negara bersangkutan[17]. Pengadilan negara Barat berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan milik negara tidak berhak atas kekebalan di bawah hukum internasional, karena perusahaan negara bukan merupakan kekayaan umum negara. Oleh karena itu, bagi masalah-masalah lainnya diatur oleh hukum perdata internasional bukan oleh hukum internasional publik.
KPE Lasok dalam membahas kasus Rorimplex,[18] berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan milik negara pada umumnya tidak memiliki keinginan sendiri, tapi hanya menjalankan keinginan Pemerintah.  Namun, dalam beberapa hal organ negara mempunyai hak untuk mengadakan perjanjian dengan perusahaan-perusahaan atau individu-individu dari negara lain (asing), meskipun kedudukannya untuk melakukan kegiatan ekonomi atau bisnis nampaknya sulit.
Keragaman isi kontrak yang dilakukan oleh organ negara, memberikan bukti bahwa hukum kontrak sangat berbeda dari kasus ke kasus dan dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi pada penerapan kekebalan negara. Oleh karena itu, pemberian kekebalan bagi negara yang terlibat dalam kontrak antar negara dapat memperkuat kedudukan hukum, ekonomi dan politik negara-negara tersebut  dalam   hubungan  mereka  dengan  perusahan-perusahaan asing. Berdasarkan hal tersebut tidak realistis jika kekebalan negara hanya dapat diperluas ke dalam jenis-jenis kontrak antar negara tertentu.

2. Doktrin Tindakan Negara (Act of State Doctrine)
Dalam hubungannya dengan kekebalan negara, terdapat sebuah doktrin yang disebut doktrin tindakan negara (Act of State Doctrine) atau Secondary Immunity[19]. Doktrin tindakan negara telah lama menjadi bagian yang tidak tersentuh oleh perubahan yurisprudensi Inggris[20]. Di Inggris dan Amerika Serikat kasus-kasus tindakan negara   relatif   langka   dan   kurang   mendapat   perhatian  selama bertahun-tahun  sebelum  kasus  Sabbatino[21]Tetapi kasus-kasus  yang  terjadi  telah  memperlihatkan  suatu indikasi bahwa doktrin tindakan negara akan cukup penting dimasa mendatang.  Sebagaimana timbulnya aktivitas-aktivitas negara dalam bidang ekonomi. Doktrin  ini  tampaknya  baru  dapat  diberlakukan, jika perisai kekebalan negara dapat ditembus.
Doktrin ini merupakan aturan sebagai langkah kedua yang dapat dijadikan pedoman oleh pengadilan dalam memberikan putusan.  Apakah  peraturan  hukum  negara  asing  dapat  diberlakukan jika negara asing tersebut bertindak dalam yurisdiksinya. Doktrin ini tidak jauh berbeda dengan doktrin  kedaulatan,  karena  kedua  doktrin  tersebut  pertimbangannya  atas  dasar  yang  sama  yaitu  menghormati kedaulatan negara lain[22].
Pengertian doktrin tindakan negara tidak saja mencakup pelaksanaan  kedaulatan  oleh  kekuasaan  eksekutif  atau  administratif dari suatu negara merdeka dan berdaulat, atau aparat-aparatnya atau pejabat-pejabatnya yang sah. Tetapi merupakan tindakan-tindakan legislatif dan administratif seperti Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah[23]. Oleh karena itu, doktrin tindakan  negara  akan  muncul  dalam  berbagai  bentuknya,  seperti suatu doktrin pemerintah asing untuk menyita harta kekayaan di dalam yurisdiksinya yang dipermasalahkan oleh pihak swasta yang mendasarkan keabsahan haknya atas suatu pembelian dari pemerintah asing.
Di  negara-negara  Anglo  Saxon,  Inggris  dan  Amerika serikat, hakim-hakimnya telah memegang teguh doktrin tindakan negara ini. Jika suatu tindakan berasal dari negara berdaulat yang diakui oleh pemerintah negara mereka, maka hakim di negara-negara Anglo Saxon  akan menyatakan tidak berwenang untuk mengadakan pengujian terhadap perbuatan-perbuatan negara yang telah diakui sebagai negara berdaulat (iure imperii). Contoh klasik doktrin tindakan negara telah diterapkan pada kasus Luther lawan Sagor di Pengadilan Inggris pada tahun 1921[24], dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin tindakan  negara   tidak  memiliki  otoritas  lebih  tinggi  dibandingkan dengan sejumlah putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, seperti dalam perkara Underhill.
Namun, tampaknya putusan pengadilan Inggris telah memberikan pengaruh lebih penting dalam penerapan doktrin ini[25].  Prinsip doktrin tindakan negara dalam bentuknya yang modern dapat diketahui dari kasus Hatch lawan Baez. Hakim Gilbert yang menangani kasus tersebut menyatakan :
“Berdasarkan sikap saling menghormati di antara bangsa-bangsa dan hukum internasional, pengadilan suatu negara tidak dapat mengadili tindakan-tindakan dari pemerintah negara lain yang dilakukan di dalam wilayahnya sendiri”[26]
Dalam kasus tersebut, sebagaimana telah diputuskan oleh Hakim  Gilbert tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tergugat sesuai dengan kapasitasnya sebagai Presiden Republik San Domingo, yang  dianggap  cukup  untuk  dijadikan  dasar  keputusan Pengadilan  mengenai  kekebalan  pribadi  yang  dinikmati  pejabat-pejabat pemerintah negara asing atas tindakannya yang dilakukan sesuai  kapasitasnya.  Sehubungan  dengan  hal  tersebut, pengadilan menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
“Meskipun individu tersebut kebal terhadap gugatan pengadilan asing, tetapi pelaksanaan kedaulatan suatu negara harus memelihara  perdamaian  dan  harmonisasi  di  antara  bangsa-bangsa”[27]
Dari simpulan ini tampak bukan saja negara yang dipandang mempunyai kekebalan (ratione personae), tetapi juga tindakan-tindakannya harus dianggap kebal dan tidak dapat diuji  oleh  hakim  asing. Inilah  suatu  imunitas  ratione materae atau juga doktrin tindakan negara.
Untuk mengantisipasi kasus-kasus selanjutnya, perlu adanya keselarasan antara pengadilan dengan pihak organ negara terkait, terutama dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan negara asing yang berdaulat untuk menerapkan dan mengakui  hak-hak negara asing yang didasarkan pada niat baik yang dituntut  pada  kehidupan  masyarakat  internasioal  yang  merupakan bangsa-bangsa beradab.
Di samping itu, batas-batas doktrin  tindakan  negara  dapat  ditemui  melalui  peraturan-peraturan yang biasa digunakan dalam Conflict of Laws. Sehubungan dengan hal tersebut dapat dikemukakan : (a) jika  negara  asing  yang  berdaulat atau  wakil-wakilnya  sebagai   tergugat,   caedit   questio,   berlaku   doktrin  kekebalan negara; (b) jika tindakan negara tersebut menimbulkan gugatan di antara pihak-pihak swasta, dan sengketa tersebut kemudian mengarah pada hukum asing, maka hukum yang berlaku adalah hukum perdata internasional; (c) jika kerugian dilakukan berdasarkanlex loci delicti commisi, maka pengadilan forum harus menanganinya jika tergugat setuju atas gugatan tersebut; (d) jika suatu konfiskasi atas harta benda telah terjadi, maka lex rei sitae akan berlaku, jia tidak bertentangan dengan hukum internasional; (e) jika keabsahan suatu Undang-undang negara asing menjadi masalah, maka hakim harus dapat menempatkan kedudukannya agar tidak bertentangan dengan negara asing tersebut.
Bankes[28], yang melakukan pendekatan dari segi hukum perdata internasional, mengatakan bahwa pada kenyataannya lex rei sitae didasarkan pada pertimbangan kebijaksanaan publik negaraforum (public policy of the forum) yang tidak dapat dihindari.  Selanjutnya Warrington[29]mengatakan, bahwa pada prinsipnya keabsahan tindakan-tindakan suatu negara yang merdeka dan berdaulat, baik yang berkaitan dengan harta  benda  maupun  orang  tidak  dapat  diuji oleh pengadilan suatu negara selama tindakan tersebut berada dalam yurisdiksinya.
Berdasarkan uraian di atas, bermacam-macam pendapat mengenai doktrin tindakan negara, tidak perlu dibandingkan apakah  doktrin   tersebut   merupakan   ketentuan   hukum  internasional publik atau apakah harus dikarakteristikan sebagai ketentuan hukum perdata intenasional.  Karena tidak ada prinsip hukum internasional publik yang mensyaratkan penerimaan ketentuan tersebut melalui pengadilan nasional.  Dan tidak pernah ada gugatan di pengadilan internasional sebagai akibat gagalnya menerapkan doktrin tindakan negara.

C. Praktek Act of State Doctrin Yang Melibatkan Indonesia
Dalam  perkara  ini  penggugat    (Industrial   Invesment Development Corporation,  Indonesia  Industrial Invesment Corporation, Ltd. dan Forest Products Corporation Ltd.) telah mengadakan  kerjasama  dengan  pihak  PT. Telaga  Mas  untuk bersama-sama  melakukan logging serta mengekspor  kayu keberbagai  negara,  antara  lain  Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia telah memberikan kemungkinan untuk memperoleh konse­si  hutan di wilayah Kalimantan melalui PT Telaga Mas. Untuk kepentingan  tersebut  para pihak telah membuat  suatu joint venture agreementpada tahun 1970.
Pihak tergugat Mitsui (Multinational Corporation Mitsui and  Co. Ltd. dan Mitsui and Co. Ltd. (USA)  dianggap telah membuat  suatu perjanjian dengan pihak PT. Telaga  Mas  yang kemudian  dianggap merugikan penggugat. Pengaruh hubungan  PT. Telaga Mas dan Mitsui, menyebabkan PT. TELAGA MAS tidak melanjutkan  final agreement. Dengan demikian dapat diketahui putusnya hubungan hukum antara PT. Telaga  Mas  dengan penggugat disebabkan adanya intervensi pihak Mitsui.
Atas   dasar  sengketa  tersebut  Dirjen Kehutanan atas nama pemerintah   Indonesia melarang  melanjutkan persetujuan  yang  telah dilangsungkan antara perusahaan joint venture (penggugat dengan PT. TELAGA MAS) dengan pihak  pemerintah Indonesia.  Hal ini  dijadikan dasar oleh pemerintah  Indonesia  untuk membatalkan persetujuan melalui   putusan   Pengadilan   Negeri  Jakarta  Pusat  yang  menganggap bahwa  pihak yang mewakili PT. TELAGA MAS dalam joint venture tidak mempunyai wewenang untuk  mewakili perusahaan tersebut dalam penandatangananjoint  venture   agreement. Dengan demikian Pemerintah menganggap  tidak  dapat mengeluarkan  ijin HPH kepada joint venture yang telah  dibuat antara PT. TELAGA MAS dengan penggugat.
Dalam  kasus  ini penggugat melalui pengadilan Amerika Serikat yaitu District Court  Texas meminta  ganti  rugi berdasarkan Antitrust Law Amerika,  yaitu Sherman  Act;  karena  menganggap adanya pelanggaran praktek anti competitive,  berkenaan   dengan  operasi penebangan kayu dan sebagainya di Kalimantan.   Pihak Mitsui telah mengajukan suatu permohonan sidang kilat, dengan mengajukan eksepsi act of State doctrine tuntutan  ganti rugi penggugat terhadap pemerintah Indonesia tidak dapat dilanjutkan.   Dalam tingkat pertama  argumen Mitsui dibenarkan dan  pengadilan menganggap bahwa  penolakan suatu konsesi kehutanan untuk penebangan  kayu bagi penggugat yang dilakukan oleh  Dirjen Kehutanan merupakan tindakan pemerintah Indonesia yang diakui oleh Amerika Serikat.  Dengan   ditolaknya   ijin HPH, penggugat  tidak dapat mengajukan  gugatan ganti rugi karena dasar penolakan ijin HPH oleh Dirjen Kehutanan RI memiliki alasan yang kuat. Menurut District Court Texas, perkara tersebut tidak  termasuk wewenang  hakim AS, oleh karena itu gugatan pihak penggugat tidak dapat diperiksa  dan eksepsi tergugat dikabulkan.
Dalam tingkat banding pihak penggugat (Industrial Invesment Development)  memperoleh putusan  yang  berlainan, karena dalam putusannya argumen Act of State doctrine tidak dipersoalkan,  dengan   perkataan   lain  pengadilan  banding menolak argumen Act of State doctrine tergugat.[30]Atas dasar putusan  tersebut, perkara gugatan penggugat kepada tergugat  dapat dilanjutkan, untuk itu perkara harus diperiksa ulang. Pengadilan Banding menganggap  bahwa argumentasi Act  of State Doctrine tidak  tepat digunakan karena kerugian yang terjadi disebabkan tindakan penggugat yang berkomplot dengan pihak  PT. TELAGA MAS  dengan tindakan mengahangi kompetisi bebas,[31] sehingga  ijin HPH ditolak  oleh  pemerintah Indonesia. Dengan demikian  terdapat satufase sebelum adanya penolakan  ijin HPH, yang ternyata pihak tergugat telah melakukan tindakan persekongkolan dengan pihak PT. Telaga Mas  yang  tadinya   merupakan  partner  penggugat.
Penggugat  dalam  pengadilan  banding  mengajukan   tiga masalah agar  Act  of  State  Doctrinetidak  berlaku.[32] Para  tergugat tidak dapat  mengelak dari tanggung jawab untuk ganti rugi yang   disebabkan  oleh  perbuatan   mereka sendiri yang tercela, perbuatan-perbuatan mana harus  dilihat  secara berdiri  sendiri dan terpisah walaupun perbuatan dari Pemerintah   Indonesia  menambah  kerugian  yang  telah diderita para penggugat;    sehinga tidak diberikannya  ijin HPH  kepada  penggugat  (joint  Venture) oleh pemerintah Indonesia  dapat dianggap bukan  sebagai tindakan  Pemerintah, tapi lebih dapat dilihat seperti  membuat  suatu perjanjian  tertentu dalam melakukan  Forestry Agreement dengan joint Venture bersangkutan. Jika melihat ketentuan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1999 tentang HPH dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi terdapat ketentuan yang menyatakan,  bahwa syarat-syarat dan cara mengajukan permohonan serta cara  memberikan hak pengesahan Hutan ditetapkan oleh  Menteri Pertanian.
Sedangkan Pasal 11 ayat (1) mengatakan “Hak Pengusahaan Hutan diberikan oleh Menteri Pertanian setelah  mendengar  pendapat Gubernur/Kepala Daerah Propinsi yang bersangkutan”. Sehubungan  dengan  ketentuan  tersebut,   yang   perlu diperhatikan  adalah argumentasi penggugat yang menyatakan bahwa tindakan pemerintah Indonesia bukan sebagai tindakan  pemerintah  (berdaulat) tapi lebih dapat  dilihat seperti membuat suatu perjanjian tertentu. Jika  diteliti,  pendapat  penggugat  dalam  hubungannya dengan ketentuan Pasal 11 (1), tampaknya ketentuan ini tidak memberi peluang pemberian ijin HPH dengan suatu  perjanjian tertentu.
Dalam kaitannya dengan kasus di atas, dapat dipastikan jika para pihak merupakan perusahaan penanaman modal asing, maka sebelum melakukan kegiatannya terlebih dulu akan mengikuti ketentuan yang umumnya dilakukan oleh perusahaan PMA yaitu menandatangani perjanjian penanaman modal asing (PMA). Baik dalam bentuk perjanjian jaminan PMA (Invesment Guaranty Agreement) maupun perjanjian penanaman modal antara perusahaannya dengan Pemerintah Indonesia  yang di dalamnya terdapat klausul penyelesaian sengketa atau suatu consent[33] yang bentuknya kesepakatan untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase ICSID. Konsekuensi dari isi klausul tersebut, bagi  pihak yang wan-prestasi  harus mentaatinya. Oleh karena  itu, jika yang dimaksudkan pihak penggugat pemberian  HPH merupakan perjanjian tertentu artinya terdapat dalam perjanjian penanaman modal,  tidak mungkin jika di dalamnya tidak termasuk consenttersebut yang mengarah ke arbitrase ICSID (centre). Karena biasanya bagi pihak asing pilihan hukum atau pilihan pengadilan tersebut merupa­kan komponen yang sangat  penting   dan   tidak pernah diabaikan.[34]
Dengan demikian bagi pihak penggugat jika  men­ganggap  dengan tidak diberikannya ijin HPH oleh pihak pemerintah  Indonesia sangat merugikan. Maka dengan dasar perjanjian tersebut, sebenarnya dapat melakukan gugatan secara langsung sesuai dengan ketentuan Konvensi Washington 1965 (Konvensi tentang Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal) yang  telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1968, yaitu melalui arbitrase ICSID.[35]
Berdasarkan uraian di  atas,  dapat disimpulkan bahwa ditolaknya ijin HPH oleh pemerintah  Indonesia  dilakukan atas  dasar tindakannya sebagai suatu negara berdaulat (public act atau iure imperii),  karena  jika  tindakan  suatu negara  atas  dasar tindakannya  dalam kapasitas  iure gestiones (commercial  act) harus dilakukan  oleh Perusahaan Negara (BHMN). Tindakan Pemerintah Indonesia untuk tidak memberikan ijin HPH  kepada perusahaan  Joint Venture tersebut dilakukan sebagai tindakan prefentif yang  merupakan jalan keluar bagi pengamanan hutan karena  terjadinya sengketa  pihak pengelola hutan yang kemungkinan akan melalaikan kewajibannya[36].
Demikian  pula, jika melihat latar belakang kasus  ini ternyata para pihak yang keduanya merupakan perusahaan swasta asing berbadan hukum Indonesia,  sesungguhnya harus mentaati  ketentuan  yang berlaku  di Indonesia[37]. Oleh karenanya tindakan Pemerintah Indonesia merupakan hal yang wajar,  walaupun  keyataannya merugikan  para pihak. Karena jika kembali kepada dasar gugatan dalam  proses pengadilan pertama (pengadilan District Court Texas), sesungguhnya dasar gugatan tersebut tidak dapat  dilepas dari masalah pemberian ijin HPH Pemerintah Indonesia.
Dengan  demikian  jika   tergugat mengemukakannya berdasarkan Act of State doctrine, menurut  hemat  penulis adalah tepat. Bahkan sampai tingkat bandingpun argumen Act of State doctrine ini dapat di pertahankan. Hal ini jelas,  jika melihat  pendapat  penggugat yang mengatakan bahwa tindakan Pemerintah   Indonesia   bukan  merupakan  tindakan  negara berdaulat yang diakui oleh Amerika sebagai negara forum. Maka dapat disimpulkan bahwa penggugat   memisahkan   sebab  dan   akibat  dari  perkara  bersangkutan,  apakah  sistem  hukum  negara bagian Amerika Serikat menganut  ketentuan  ini?.   Karena  tidak mungkin terjadi  suatu sengketa tanpa didahului oleh suatu  hubungan hukum, sedangkan hubungan hukum ini merupakan dasar  yang penting untuk mengajukan suatu gugatan.
Apabila  melihat peraturan khusus masalah imunitas  dari negara-negara yang menghadapi perkara tersebut.  Secara khusus di  Amerika Serikat  telah dibuat peraturan yang  dinamakan  Fereign Soverign Immunity Act 1976. Dalam ketentuan  tersebut, terdapat pengecualian umum atas imunitas mengenai  yuridiksi terhadap   suatu negara  asing, yang dirumuskan sebagai berikut:[38](1) Apabila negara bersangkutan telah melakukan suatu  kegiatan komersil (commercial activity)  yang  telah dilakukan di dalam wilayah Amerika Serikat, atau; (2)  Apabila dilakukan  suatu  perbuatan dialam wilayah Amerika Serikat dalam  hubungan dengan suatu kegiatan komersil dari negara asing di tempat  lain ; (3) atau apabila suatu  perbuatan di luar wilayah Amerika Serikat tetapi    dalam hubungannya dengan  suatu aktivitas komersil dari negara asing  di  luar  negeri  dan perbuatan tersebut telah menyebabkan suatu akibat langsung (causes  a direct effect) di Amerika Serikat  maka tidak berlaku imunitas.
Atas dasar peraturan khusus ini, tampaknya pengadilan di AS menerima Act of State doctrinedengan prinsip teritorialitas  yaitu jika perbuatan dilakukan di dalam wilayah AS, imunitas bagi sebuah negara tidak berlaku. Hal ini menunjukan bahwa  penafsiran  Act of State doctrine di Amerika  Serikat telah  menjurus pada suatu penafsiran yang sempit, yang oleh sebagian  pengamat  dianggap  tidak  selaras  dengan  kondisi modern kehidupan internasional dewasa ini.[39]
Apakah penolakan Act of State doctrinee oleh Pengadilan  Banding yang menyatakan Act  of  State Doctrine tidak menghendaki pengadilan Amerika Serikat melindungi  pihak tergugat untuk bertanggung jawab atas tindakan  mereka  yang berdiri sendiri, merupakan akibat  langsung untuk keadaan Amerika yaitu hubungan baik dengan Pemerintah Indonesia  atau akibat  langsungnya berupa Restraint and monopolize foreign Commerce seperti yang dianut AS dalam Antitrust Law-nya, yang memperluas jangkauan teritorialitas menjadi ekstrateritorial dengan  kebijaksanaan   dalam   bidang   perdagangan   dan perekonomian non kompetitif, sehingga sebuah organisasi dapat mengajukan   suatu  pembelaan dari  tindakan  suatu   negara (asing) berdasarkan  antitrust Law AS.[40]
Oleh  karena  itu, jika  pendirian   pengadilan   banding  di   AS  tersebut mengikuti tuntutan penggugat merupakan hal yang wajar karena pengadilan  di A.S memperoleh otoritas  untuk  mempertahankan pendiriannya bukan berdasarkan hukum internasional.[41] Pemberian otoritas ini diperoleh pengadilan-pengadilan AS  seba­gai konsekuensi pemisahan kekuasaan atau Separation of Powers yang dianut Undang-undang Dasar AS.

D. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1.     Kekebalan mutlak suatu negara saat ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena adanya aktivitas-aktivitas negara dibidang ekonomi untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya.
2.     Berakhirnya konsep kekebalan mutlak bukan berarti negara-negara tidak mempunyai perlindungan atas kedaulatannya. Karena perlindungan kekebalan mutlak dapat diberikan jika suatu negara bertindak sesuai dengan kapasitasnya (tindakan politik) atau iure imperii. Tetapi jika suatu negara bertindak karena aktivitas-aktivitas ekonominya (commercial act) atau iure gestiones perlindungan kekebalan mutlak tidak dapat diberikan.
3.     Yang paling penting dalam hal doktrin tindakan negara (Act of State Doctrine) atau imunitas sekunder, bahwa tindakan suatu negara akan diakui sebagai tindakan dalam kapasitasnya (iure imperii) jika tindakan tersebut dilakukan dalam yurisdiksinya. Dan tindakan di dalam wilayah yurisdiksi tersebut akan menjadi ukuran apakah merupakan tindakan iure imperiiatau iure gestiones.
Daftar Pustaka:
Andras Bragyova, Reflection Immunity of State from the Point of View of International Law, in Question of International Law, Hanna Bokor-Szego ed., Kluwer, 1986
Bistline-Loomis, The Foreign Soverign Immunities Act in Practice, AJIL vol. 73, 1979
D.P. O’Connel, International Law, London, 1965
Gerald Fitzmaurice, State Immunity from Proceedingin Foreign Courts, BYIL vol.14/1933
Gerald von Glahn, Law Among Nation, New York, 1981
Ian Brownlie, Principles of Public International LawClarendon Press, London, 1990
Ita Gambiro, Perjanjian Lisensi dan Technical Assistence, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 1990
JHL Morris, Cases on Private International Law, London, 1960
Michael Singer, The Act of State Doctrine of the United Kingdom  an Analysis With Comparison to United States Practice, AJIL 75/1981
Michael Zander, The Act of State Doctrine, in The International Law in Twentieth Century, New York, 1966
Mochtar Kusumaatmadja & Eti R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni Bandung, 2003,
Putusan United States Court of Appeal, 5th, circuit, Aprl. 25-1979
Richard Falk, The Role of Domestic Courts in International Legal Order, Cyracus, 1964
Sompong Sucharitkul, Immunities of Foreign State before National Authorities, Collected Course HAIL, Leiden, 1976
Sompong Sucharitkul, Immunities of Foreign State Before National Authorities, NILR vol.10, 1976
Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1980
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, Jkt, 1976
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia, Alumni, 1975
United States; Foreign Soverign Immunities Act 1976.
UU No. 25 tahun 20077 tentang Penanaman Modal.
W. Friedmann, Some Impact of Social Organization on International Law, AJIL vol.50
PP No. 6 tahun 1999 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan dar Hutan Industri.



Tidak ada komentar :

Posting Komentar